Latest Post
Showing posts with label RETORIKA. Show all posts
Showing posts with label RETORIKA. Show all posts

Komunikasi Non Verbal ?


Suatu saat, saya duduk-duduk di lobby kampus , sambil mengobrol bersama teman-teman, hotspotan, mengerjakan tugas, memandang-mandang sekitar, sambil makan camilan yang disediakan oleh teman saya. Saya sedang berpikir, ada hal asik apa yang akan terjadi hari ini, karena saya selalu merasa bahwa setiap hari yang diberikan oleh-Nya merupakan suatu kesenangan yang memberikan keasikan tersendiri. Setelah saya amat-amati, ternyata ada seorang teman yang sedang asik bertelepon entah dengan siapa. Dirinya berbicara cukup keras sehingga pembicaraan darinya terdengar oleh saya. Yang saya herankan, dia ternyata memiliki perlakuan sama seperti ketika berbicara dengan orang yang ada di depannya, padahal dia sedang berbicara dengan orang yang jauh di sana dengan menggunakan media telepon (handphone).

Orang tersebut melakukan menggeleng-gelengkan kepala ketika dia menyangkal sesuatu, yaitu ketika dia berbicara, “Bukan ‘Yang.. Bukan aku yang melakukan itu Sayang.. Beneran..”, kemudian dia mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah (menyimbolkan tanda victory/peace) sambil berkata,”Sumpah ‘Yang.. Beneran deh..”. Gestur tubuh orang ini tampak sekali terlihat oleh saya, ketika dia bebicara yang mungkin dianggapnya serius, dia lalu juga melakukan sesuatu dengan komunikasi non verbalnya, padahal itu bukan dilakukan dengan tatap muka. Yang terakhir saya liat dari kelakuannya, yaitu ketika dia bersikap hormat sambil memegang handphone nya, lalu berkata,”Siap ‘Yang..! Laksanakan..”, dengan maksud mengiyakan permintaan orang yang sedang diteleponnya tadi dan menyetujui sesuatu. Setelah itu dia juga berkata,”Ya udah Sayang… Aku mau lanjut kerja tugas lagi eah… See you… Love You ‘Yang, Mmmmuuuaacch..!” sambil mencium handphonenya sendiri. Tak sadar, saya pun senyum-senyum sendiri ketika melihat orang tersebut.

Oh, iya, ternyata saya juga melakukan komunikasi non verbal, di mana saya senyum-senyum sendiri saat menatap orang tadi, bukan mengatakan,”Kamu itu lucu..” ketika saya merasa bahwa orang tersebut memang benar-benar lucu, dan saya mengkomunikasikan hal tersebut dengan tersenyum kepadanya.

Masih berbicara mengenai orang yang saya amati tersebut, ternyata dia masih melakukan gerakan-gerakan.

Dalam berkomunikasi atau hanya sekedar basa – basi dengan teman – teman, ternyata yang saya amati cukup banyak bahasa non-verbal yang merupakan perwakilan maupun penegasan dari bahasa verbal mereka untuk meyakinkan teman / lawan bicaranya. Ini dilakukan juga karena saya maupun mereka sudah mempunyai kedekatan yang lebih. Ternyata sentuhan-sentuhan dengan orang lain juga sangat sering dilakukan dan bermakna di mana kedekatan mereka dapat terlihat. Dengan gerakan-gerakan tangan maupun gerakan tubuh lainnya yang bervariasi juga menimbulkan pengertian tertentu. Gerakan tubuh juga menandakan bahwa keakraban mereka yang sedang berkomunikasi ditandai dengan gerakan saat berbicara maupun sedikit sentuhan pada bagian tubuh teman mereka seperti pada tangan, bahu, maupun bagian tubuh lainnya dari lawan bicaranya tersebut.

Terlihat jelas dari pengataman saya, dengan seringnya menyentuh tubuh teman mereka ketika mereka berbicara, maka mereka adalah teman yang akrab dan sudah sering berkomunikasi atau bersama. Waktu itu saya juga melihat, ada 2 orang cewek yang tiba-tiba bertemu ketika di dekat tangga, mereka berpelukan, cium pipi kanan, cium pipi kiri. Apa maksudnya? Ternyata mereka menuangkan perasaan kangen mereka dengan melakukan hal tersebut. Mereka tidak sekedar bicara,”Aku kangen padamu..” namun langsung dengan berpelukan dan cium pipi kanan serta pipi kiri. Hal ini juga menandakan bahwa mereka sudah memiliki kedekatan yang lebih, walau mereka dalam situasi kangen. Berbeda dengan mereka yang jarang melakukan komunikasi non verbal saat melakukan interaksi/berbicara dengan lawan jenisnya. Mungkin saja orang-orang ini memiliki kedekatan yang kurang.

Berbicara dengan kedekatan, saya ingin meninjau mengenai pacaran. Teman-teman yang berpacaran (berpasangan) di dalam 1 kampus ternyata lumayan banyak.

Siapa bilang memiliki pacar maupun pacaran itu tidak indah..
Mungkin saja tidak ada.. Kalau berbicara mengenai pacaran, kebanyakan orang merasakan dirinya sedang berbunga-bunga. Selalu ada yang memperhatikan, ada yang mengatur-ngatur. Pokoknya bahagia deh…selalu berhubungan dengan cinta (menurut beberapa teman).

“Dengan berpacaran, kita bisa mengerti berbagai karakter orang, terlebih lawan jenis. Bisa mempelajari bagaimana berhubungan dengan orang lain.”

Mungkin saya pernah mendengar maupun membaca kalimat di atas. Sebelum kita memutuskan untuk pacaran, pelajari lebih dahulu sifat seseorang tersebut. Di sini kita lebih membutuhkan banyak interaksi. Entah interaksi dengan komunikasi verbal maupun non verbal, semuanya sangat bermakna di dalam suatu hubungan. Mengenai orang yang semula saya amati seperti yang saya ceritakan di atas tadi pun tampak bahwa orang tersebut berpacaran. Tampak dari bahasa verbalnya yaitu menggunakan panggilan “Sayang” serta dia mampu mencium handphonenya yang sebenarnya dia sedang menggambarkan bahwa dia seolah-olah mencium pacarnya itu. Waktu saya di lobby, ternyata cukup banyak orang, berdua-duaan lewat, berjalan, dan tenyata mereka berpacaran.

“Jujur, kalau pacaran agak menyita waktu sekali. entah karena seringnya minta di sms, atau di telp, hehe, emang itu ya kerjaan orang pacaran. kalau gak kan ya gak sampai kayak gtu,” menurut salah satu orang yang berpacaran. Memang, dengan berpacaran mungkin lebih banyak komunikasi yang dapat tersalurkan. Ternyata, kebanyakan teman-teman saya yang berpacaran, lebih memilih pesan non verbal dibanding pesan verbal untuk menyampaikan perasaan sayangnya. Mereka juga menjelaskan bahwa mereka lebih memilih pelukan langsung daripada pengucapan,”aku sayang kamu” dalam mewujudkan perasaan sayang mereka.

Tradisi pacaran memiliki variasi dalam pelaksanaannya dan sangat dipengaruhi oleh tradisi dalam masyarakat individu-individu yang terlibat. Dimulai dari proses pendekatan, pengenalan pribadi, hingga akhirnya menjalani hubungan afeksi yang ekslusif. Perbedaan tradisi dalam pacaran, sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut oleh seseorang. Berdasarkan tradisi zaman kini, sebuah hubungan dikatakan pacaran jika telah menjalin hubungan cinta-kasih yang ditandai dengan adanya aktivitas-aktivitas seksual atau percumbuan.

Memang komunikasi non verbal dalam menunjukkan rasa kasih sayang sangat banyak sekali terlihat dalam hubungan berpacaran. Di lobby, saya juga melihat sepasang kekasih yang tiba-tiba saling mencium tangan, kemudian mencium kening, tanda kasih sayang, dan ternyata mereka mengucapkan salam karena salah satu dari mereka ada jam kuliah, kemudian mereka berpisah. Banyak pula pasangan yang waktu jalan bergandengan tangan, memegang pinggang, memegang bahu, dan sikap yang lainnya yang menunjukkan bahwa mereka memiliki kedekatan yang spesial. Beberapa teman saya yang berpacaran juga bercerita bahwa mereka sering pegang pinggang waktu naik motor, nonton film dibioskop sambil pegangan tangan, sampai berteduh diguyuran hujan yang dingin-dingin tapi empuk, semuanya itu dilakukan untuk menunjukkan kasih sayang mereka.

Pada waktu itu ternyata hujan turun, langit pun gelap. Hujan saat itu malah membuat suasana menjadi hangat oleh sepasang kekasih yang tampak di depan pintu masuk gedung perpustakaan, berteduh di teras sambil menunggu hujan reda dengan duduk pangkuan serta berpegangan tangan, saling berpelukan ketika angin datang, membuat suasana kedekatan makin terlihat.

Ada semacam anggapan diantara beberapa remaja bahwa, wajar-wajar aja kalo cuma kiss,mungkin bisa dianggap semacam ungkapan atau expresi kasih sayang. Lalu kapan pacar pantas dikiss dan boleh nge-kiss pacar. Karena kalau sudah berdekatan susah sekali mengontrol tendangan adrenalin, apalagi untuk cowok yang seolah-olah sering menjadi decision maker dalam berprilaku dalam berpacaran, dan kadang-kadang cewek itu suka bingung untuk menolak tangan jahil cowok… (menurut pengamatan saya )

Saya juga mengamati bagaimana lawan jenis marasa nyaman dan tertarik kepada kita dengan memperhatikan beberapa tanda-tanda umumnya. Cara mereka tersenyum, menatap kita, dan tertawa, bisa menjadi satu pertanda. Bukan hanya dari itu saja, cara mereka memperlakukan kita atau berpegang tangan bahkan berargumen ternyata bisa menjadi petanda bahwa orang tersebut ingin masuk ke dalam hidup kita, atau tertarik kepada kita. Sentuhan seperti yang banyak digunakan orang saat mereka bercakap – cakap adalah sebagai fungsi ekspresif, menurut Heslin, merupakan kategori ‘persahabatan – kehangatan’. 

Kategori ini meliput setiap sentuhan yang menandakan afeksi atau hubungan yang akrab. Oleh karena itu, mungkin kedekatan seseorang bisa sangat begantung ketika mereka menggunakan ungkapan non verbal saat mereka berkomunikasi, contohnya dalam kedekatan berpacaran. Adanya bahasa tubuh membuat seseorang lebih yakin dan mengerti  apa yang sedang mereka perbincangkan. Bahkan dalam jarak jauh sekalipun dengan teman, bahasa non-verbal mampu mewakili maksud dari orang tersebut, misalnya ketika ada 2 orang yang berjarak jauh, salah satunya menyatakan persetujuan dengan mengacungkan jempolnya dan berkata “ok..”
 

Pengertian, Sejarah dan Latar Belakang Retorika

A. Defenisi Retorika

Berbicara yang akan dapat meningkatkan kualitas eksistensi (keberadaan) di tengah-tengah orang lain, bukanlah sekadar berbicara, tetapi berbicara yang menarik (atraktif), bernilai informasi (informatif), menghibur (rekreatif), dan berpengaruh (persuasif). Dengan kata lain, manusia mesti berbicara berdasarkan seni berbicara yang dikenal dengan istilah retorika. Retorika adalah seni berkomunikasi secara lisan yang dilakukan oleh seseorang kepada sejumlah orang secara langsung bertatap muka. Oleh karena itu, istilah retorika seringkali disamakan dengan istilah pidato. Agar lebih jelas maka dalam ulasan berikut ini akan didalami secara bersama beberapa pemahaman dasar tentang retorika.

Dalam Bahasa Yunani ῥήτωρ, rhêtôr, orator, teacher) retorika adalah sebuah teknik pembujuk-rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan melalui karakter pembicara, emosional atau argumen (logo). Plato secara umum memberikan defenisi terhadap retorika sebagai suatu seni manipulatif yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato, dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, kepercayaan dan pengharapan mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai substansi dengan penggunaan media oral atau tertulis.

Retorika memberikan suatu kasus lewat bertutur (menurut kaum sofis yang terdiri dari Gorgias, Lysias, Phidias, Protagoras dan Socrates akhir abad ke 5 SM), yang mengajarkan orang tentang keterampilan berbicara dan menemukan sarana persuasif yang objectif dari suatu kasus. Studi yang mempelajari kesalahpahaman serta penemuan saran dan pengobatannya. Retorika juga mengajarkan tindak dan usaha yang efektif dalam persiapan, penetaan dan penampilan tutur untuk membina saling pengertian dan kerjasama serta kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam ajaran retorika Aristoteles, terdapat tiga teknis alat persuasi (mempengaruhi) politik yaitu deliberatif, forensik dan demonstratif. Retorika deliberatif memfokuskan diri pada apa yang akan terjadi dikemudian bila diterapkan sebuah kebijakan saat sekarang. Retorika forensik lebih memfokuskan pada sifat yuridis dan berfokus pada apa yang terjadi pada masa lalu untuk menunjukkan bersalah atau tidak, pertanggungjawaban atau ganjaran. Retorika demonstartif memfokuskan pada wacana memuji dengan tujuan memperkuat sifat baik atau sifat buruk seseorang, lembaga maupun gagasan.

B. Tujuan Retorika


Tujuan retorika adalah persuasi, yang dimaksudkan dalam persuasi dalam hubungan ini adalah yakinnya pendengar akan kebenaran gagasan hal yang dibicarakan pembicara. Artinya bahwa tujuan retorika adalah membina saling pengertian yang mengembangkan kerjasama dalam menumbuhkan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat lewat kegiatan bertutur.

C. Fungsi Retorika

Membimbing penutur mengambil keputusan yang tepat.

Membimbing penutur secara lebih baik memahami masalah kejiwaan manusia pada umumnya dan kejiwaan penanggap tutur yang akan dan sedang dihadapi.

Membimbing penutur menemukan ulasan yang baik.

Membimbing penutur mempertahankan diri serta mempertahankan kebenaran dengan alasan yang masuk akal.

D. Metode Retorika

D.1. Exordium (pendahuluan)

Fungsinya pengantar kearah pokok persoalan yang akan dibahas dan sebagai upaya menyiapkan mental para hadirin (mental prepation) dan membangkitkan perhatian (attention arousing).

Berbagai cara dapat ditampilakan untuk memikat perhatian hadirin.

- Mengemukakan kutipan (ayat kitab suci, pendapat ahli kenamaan, dll)

- Mengajukan pertanyaan

- Menyajikan ilustrasi yang spesifik

- Memberikan fakta yang mengejutkan

- Menyajikan hal yang bersifat manusia

- Mengetengahkan pengalaman yang ganjil

Beberapa hal yang perlu dihindari dalam retorika, antara lain:

- Permintaan maaf karena kurang persiapan, tidak menguasai materi, tidak pengalaman dll.

- Menyajikan sebuah lelucon yang berlebihan.

D.2. Protesis (latar belakang)

Mengemukakan hakekat pokok persoalan tersebut secara factual atau secara kesejahteraan nilainya serta fungsinya dalam kehidupan. Jadi pembahasan ini dikemukakan sedemikian rupa sehingga tampak jelas kaitannya dengan kepentingan pendengar.

D.3. Argumentasi (isi)

Memberikan ulasan-ulasan tentang topic yang akan disajikan secara teoritis, kemudian mengemukakan kekuatan posisinya.

D.4 Conclusio (kesimpulan)

Suatu penegasan hasil pertimbangan yang mengandung justifikasi atau pembenaran menurut penalaran orator atau pembawa naskah.

Yang perlu dihindari dalam pembuatan kesimpulan adalah:

- Mengemukakan fakta baru

- Mengemukakan kata-kata mubazir dan tidak fungsional

Dua persyaratan mutlak bagi orang yang akan muncul sebagai orator:

- Source credibility atau sumber yang terpercaya (ahli dibidangnya)

- Source actractivinees atau daya tarik sumber artinya memiliki penampilan yang meyakinkan untuk tampil sebagai orator.

D.5. Etika Retorika
Memperhatikan kondisi keadaan tertentu, hal ini memerlukan keputusan yang bijaksana, humanistis dan etis social.
Memperhatikan standar benar tidaknya ditentukan hukum
Memperhatikan etika nilai adat istiadat atau tata nilai kesopanan yang berlaku dimasyarakat.
Memperhatikan alasan logis atau fakta yang ada
Memiliki kekuatan dalil atau nash

E. SEJARAH PERKEMBANGAN RETORIKA

Objek studi retorika adalah kehidupan manusia. Kefasihan bicara mung­kin pertama kali dipertunjukkan dalam upacara adat: kelahiran, kema­tian, lamaran, perkawinan, dan sebagainya. Pidato (retorika) disampaikan oleh orang yang mempunyai status tinggi. Lewis Copeland dalam kata pengantar bukunya tentang pidato tokoh-tokoh besar dalam sejarah, mengatakan bahwa”penting sekali diperhatikan adalah catatan peristiwa yang dramatis, yang seringkali disebabkan oleh para orator hebat.

Sejak Yunani dan Roma sampai zaman kita sekarang, kepandaian orasi dan kenegarawanan selalu berkaitan. Banyak jago pedang juga ter­kenal dengan kefasihan bicaranya yang menawan”.

Uraian sistematis retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni itu diperintah para tiran. Tiran, di mana pun dan pada zaman apa pun, senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat melancarkan revolusi. Diktator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah. Untuk mengambil haknya, pemilik tanah harus sanggup meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu itu, tidak ada pengacara dan tidak ada sertifikat tanah. Setiap orang harus meyakinkan mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering orang tidak berhasil memperoleh kembali tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara. Untuk membantu orang memenangkan haknya di pengadilan, Corax menulis makalah retorika, yang diberi nama Techne Logon (Seni Kata-­kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada, dari para penulis se­zaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang “teknik kemungkinan”. Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah dari kemungkinan umum. Seorang kaya mencuri dan dituntut di pengadilan untuk pertama kalinya. Dengan teknik kemungkinan, kita bertanya, “Mungkinkah seorang yang berkecukupan mengorbankan kehormatannya dengan mencuri? Bukankah, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke pengadilan karena mencuri”. Sekarang, seorang miskin mencuri dan diajukan ke pengadilan untuk kedua kalinya. Kita bertanya, “la pernah mencuri dan pernah dihukum. Mana mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama”. Akhirnya, retorika me­mang mirip “ilmu silat lidah”.

Di samping teknik kemungkinan, Corax meletakkan dasar-dasar organisasi pesan. Ia membagi pidato pada lima bagian: pembukaan, uraian, argumen, penjelasan tambahan, dan kesimpulan. Dari sini, para ahli retorika kelak mengembangkan organisasi pidato. Walaupun demokrasi gaya Syracuse tidak bertahan lama, ajaran Corax tetap berpengaruh. Konon, Gelon, penguasa yang mengguling­kan demokrasi dan menegakkan kembali tirani, menderita halitosis (bau mulut). Karena ia tiran yang kejam, tak seorang pun berani mem­beritahukan hal itu kepadanya. Sampai di negeri yang asing, seorang perempuan asing berani menyebutkannya. Ia terkejut. Ia memarahi istrinya, yang bertahun-tahun begitu dekat dengannya, tetapi tidak memberitahukannya. Istrinya menjawab bahwa karena ia tidak pernah dekat dengan laki-laki lain, ia mengira semua laki-laki sama. Gelon tidak jadi menghukum istrinya. Tampaknya, sang istri sudah belajar retorika dari Corax.

Masih di Pulau Sicilia, tetapi di Agrigenturn, hidup Empedocles (490-430 SM), filosof, mistikus, politisi, dan sekaligus orator. Ia cerdas dan menguasai banyak pengetahuan. Sebagai filosof, ia pernah berguru kepada Pythagoras dan menulis The Nature of Things. Sebagai mistikus, ia percaya bahwa setiap orang bisa bersatu dengan Tuhan bila ia men­jauhi perbuatan yang tercela. Sebagai politisi, ia memimpin pemberon­takan untuk menggulingkan aristokrasi dan kekuasaan diktator. Se­bagai orator, menurut Aristoteles, “ia mengajarkan prinsip-prinsip retorika, yang kelak dijual Gorgias kepada penduduk Athena”.

Tahun 427 SM Gorgias dikirim sebagai duta ke Athena. Negeri itu sedang tumbuh sebagai negara yang kaya. Kelas pedagang kosmopolitan selain memiliki waktu luang lebih banyak, juga terbuka pada gagasan-­gagasan baru. Di Dewan Perwakilan Rakyat, di pengadilan, orang memerlukan kemampuan berpikir yang jernih dan logis serta berbicara yang jelas dan persuasif. Gorgias memenuhi kebutuhan “pasar” ini dengan mendirikan sekolah retorika. Gorgias menekankan dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromtu (kita bahas pada Bab II). Ia meminta bayaran yang mahal; sekitar sepuluh ribu drachma ($ 10.000) untuk seorang murid saja. Bersama Protagoras dan kawan­-kawan, Gorgias berpindah dari satu kota ke kota yang lain. Mereka adalah “dosen-dosen terbang”.

Protagoras menyebut kelompoknya sophistai, “guru kebijaksanaan” Sejarahwan menyebut mereka kelompok Sophis. Mereka berjasa mengembangkan retorika dan mempopulerkannya. Retorika, bagi mereka bukan hanya ilmu pidato, tetapi meliputi pengetahuan sastra, gramatika, dan logika. Mereka tahu bahwa rasio tidak cukup untuk meyakinkan orang. Mereka mengajarkan teknik-teknik memanipulasi emosi dan menggunakan prasangka untuk menyentuh hati pendengar. Berkat kaum Sophis, abad keempat sebelum Masehi adalah abad retorika. Jago-jago pidato muncul di pesta Olimpiade, di gedung perwakilan dan pengadilan. Bila mereka bertanding, orang-orang Athena berdatangan dari tempat-tempat jauh; dan menikmati “adu pidato” seperti menikmati pertandingan tinju. Kita hanya akan menyebutkan dua tokoh saja sebagai contoh: Demosthenes dan Isocrates.

Berbeda dengan Gorgias, Demosthenes mengembangkan gaya bicara yang tidak berbunga-bunga, tetapi jelas dan keras. Dengan cerdik, ia menggabungkan narasi dan argumentasi. Ia juga amat memperhatikan cara penyampaian (delivery). Menurut Will Durant, “ia meletakkan rahasia pidato pada akting (hypocrisis). Berdasarkan keyakinan ini, ia berlatih pidato dengan sabar. Ia mengulang-ulangnya di depan cermin. Ia membuat gua, dan berbulan-bulan tinggal di sana, berlatih dengan diam-diam. Pada masa-masa ini, ia mencukur rambutnya sebelah, su­paya ia tidak berani keluar dari persembunyiannya. Di mimbar, ia melengkungkan tubuhnya, bergerak berputar, meletakkan tangan di atas dahinya seperti berpikir, dan seringkali mengeraskan suaranya seperti menjerit.

Demosthenes pernah diusulkan untuk diberi mahkota atas jasa-­jasanya kepada negara dan atas kenegarawanannya. Aeschines, orator lainnya, menentang pemberian mahkota dan memandangnya tidak konstitusional. Di depan Mahkamah yang terdiri dari ratusan anggota juri, ia melancarkan kecamannya kepada Demosthenes. Pada gilirannya, Demosthenes menyerang Aeschines dalam pidatonya yang terkenal Perihal Mahkota. Dewan juri memihak Demosthenes dan menuntut Aeschines untuk membayar denda. Aeschines lari ke Rhodes dan hidup dari kursus retorika yang tidak begitu laku. Konon, Demosthenes mengirimkan uang kepadanya untuk membebaskannya dari kemiskinan. Persaudaraan karena profesi!

Duel antara dua orator itu telah dikaji sepanjang sejarah. Inilah buah pendidikan yang dirintis oleh kaum Sophis. Tetapi ini juga yang membentuk citra negatif tentang kaum Sophis. Seorang tokoh yang berusaha mengembangkan retorika dengan menyingkirkan Sophisme negatif adalah Isocrates. Isocrates percaya bahwa retorika dapat meningkatkan kualitas masyarakat; bahwa retorika tidak boleh dipisahkan dari politik dan sastra. Tetapi ia menganggap tidak semua orang boleh diberi pelajaran ini. Retorika menjadi sebuah pelajaran elit, hanya untuk mereka yang berbakat.

Ia mendirikan sekolah retorika yang paling berhasil tahun 391 SM. Ia mendidik muridnya menggunakan kata-kata dalam susunan yang jernih tetapi tidak berlebih-lebihan, dalam rentetan anak kalimat yang seimbang dengan pergeseran suara dan gagasan yang lancar. Karena ia tidak mempunyai suara yang baik dan keberanian untuk tampil, ia hanya menuliskan pidatonya. Ia menulis risalah-risalah pendek dan menyebarkannya. Sampai sekarang risalah-risalah ini dianggap waris­an prosa Yunani yang menakjubkan. Gaya bahasa Isocrates telah mengilhami tokoh-tokoh retorika sepanjang zaman: Cicero, Milton, Massillon, Jeremy Taylor, dan Edmund Burke. Salah satu risalah yang ditulisnya mengkritik kaum Sophis. Risalah ini ikut membantu berkembangnya kebencian kepada kaum Sophis. Di samping itu, kaum Sophis kebanyakan para pendatang asing di Athena. Orang selalu mencurigai yang dibawa orang asing. Apalagi mereka mengaku mengajarkan kebijaksanaan dengan menuntut bayaran. Yang tidak sanggup membayar tentu saja melepaskan kekecewaannya dengan mengecam mereka. Socrates, misalnya, hanya sanggup membayar satu drachma untuk kursus yang diberikan Prodicus. Karena itu, ia hanya memperoleh dasar-dasar bahasa yang sangat rendah saja.

Socrates mengkritik kaum Sophis sebagai para prostitut. Orang yang menjual kecantikan untuk memperoleh uang, kata Socrates, adalah prostitut. Begitu juga, orang yang menjual kebijaksanaan. Murid Socrates yang menerima pendapat gurunya tentang Sophisme adalah Plato. Plato menjadikan Gorgias dan Socrates sebagai contoh retorika yang palsu dan retorika yang benar, atau retorika yang berdasarkan pada Sophisme dan retorika yang berdasarkan pada filsafat. Sophisme mengajarkan kebenaran yang relatif. Filsafat membawa orang kepada pengetahuan yang sejati. Ketika merumuskan retorika yang benar – yang membawa orang kepada hakikat – Plato membahas organisasi, gaya, dan penyampaian pesan. Dalam karyanya, Dialog, Plato meng­anjurkan para pembicara untuk mengenal “jiwa” pendengarnya. Dengan demikian, Plato meletakkan dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak. Ia telah mengubah retorika sebagai sekumpulan teknik (Sophisme) menjadi sebuah wacana ilmiah.

Aristoteles, murid Plato yang paling cerdas melanjutkan kajian re­torika ilmiah. Ia menulis tiga jilid buku yang berjudul De Arte Rhetorica. Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima ta­hap penyusunan pidato: terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric). Inventio (penemuan). Pada tahap ini, pembicara menggali topik dan meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Bagi Aristoteles, retorika tidak lain daripada “kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu, metode persuasi yang ada”. Dalam tahap ini juga, pembicara merumuskan tujuan dan mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.

Aristoteles menyebut tiga cara untuk mempengaruhi manusia. Pertama, Anda harus sanggup menunjukkan kepada khalayak bahwa Anda memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat (ethos). Kedua, Anda harus Menyentuh hati khalayak perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang mereka (pathos). Kelak, para ahli retorika modern menyebutnya imbauan emotional (emotional appeals). Ketiga, Anda Meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Di sini Anda mendekati khalayak lewat otaknya (logos).

Di samping ethos, pathos, dan logos, Aristoteles menyebutkan dua cara lagi yang efektif untuk mempengaruhi pendengar: entimem dan contoh. Entimem (Bahasa Yunani: “en” di dalam dan “thymos” pikiran) adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan. Disebut tidak lengkap, karena sebagian premis dihilangkan.

Sebagaimana Anda ketahui, silogisme terdiri atas tiga premis: ma­yor, minor, dan kesimpulan. Semua manusia mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita (mayor). Anda manusia (minor). Tentu Anda pun mempunyai perasaan yang sama (kesimpulan). Ketika saya ingin mempengaruhi Anda untuk mengasihi orang-orang yang menderita, saya berkata, “Kasihanilah mereka. Sebagai manusia, Anda pasti mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita “. Ucapan yang ditulis miring menunjukkan silogisme, yang premis mayornya dihilangkan. Di samping entimem, contoh adalah cara lainnya. Dengan menge­mukakan beberapa contoh, secara induktif Anda membuat kesimpulan umum. Sembilan dari sepuluh bintang film menggunakan sabun Lnx. Jadi, sabun Lux adalah sabun para bintang film.

Dispositio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang berarti pembagian. Pesan harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis. Susunan berikut ini mengikuti kebiasaan berpikir manusia: pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog. Menurut Aristoteles, pengantar berfungsi menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas (ethos), dan menjelaskan tujuan.

Elocutio (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan menggunakan bahasa yang tepat untuk “mengemas” pesannya. Aristo­teles memberikan nasihat ini: gunakan bahasa yang tepat, benar, dan dapat diterima; pilih kata-kata yang jelas dan langsung; sampaikan kalimat yang indah, mulia, dan hidup; dan sesuaikan bahasa dengan pe­san, khalayak, dan pembicara.

Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus mengingat apa yang ingin disampaikannya, dengan mengatur bahan-bahan pem­bicaraannya. Aristoteles menyarankan “jembatan keledai” untuk me­mudahkan ingatan. Di antara semua peninggalan retorika klasik, me­mori adalah yang paling kurang mendapat perhatian para ahli retorika modern.

Pronuntiatio (penyampaian). Pada tahap ini, pembicara menyampai­kan pesannya secara lisan. Di sini, akting sangat berperan. Demos­thenes menyebutnya hypocrisis (boleh jadi dari sini muncul kata hipo­krit). Pembicara harus memperhatikan olah suara (vocis) dan gerakan­gerakan,anggota badan (gestus moderatio cum venustate).

E.1. RETORIKA ZAMAN ROMAWI

Teori retorika Aristoteles sangat sistematis dan komprehensif. Pada satu sisi, retorika telah memperoleh dasar teoretis yang kokoh. Namun, pada sisi lain, uraiannya yang lengkap dan persuasif telah membungkam para ahli retorika yang datang sesudahnya. Orang-orang Romawi selama dua ratus tahun setelah tidak menambahkan apa-apa yang berarti bagi perkembangan retorika.

Buku Ad Herrenium, yang ditulis dalam bahasa Latin kira-kira 100 SM, hanya mensistematisasikan dengan cara Romawi warisan retorika gaya Yunani. Orang-orang Romawi bahkan hanya mengambil segi-se­gi praktisnya saja. Walaupun begitu, kekaisaran Romawi bukan saja subur dengan sekolah-sekolah retorika; tetapi juga kaya dengan orator­-orator ulung: Antonius, Crassus, Rufus, Hortensius. Yang disebut terakhir terkenal begitu piawai dalam berpidato sehingga para artis berusaha mempelajari gerakan dan cara penyampaiannya.

Kemampuan Hortensius disempurnakan oleh Cicero. Karena di­besarkan dalam keluarga kaya dan menikah dengan istri yang mem­berinya kehormatan dan uang, Cicero muncul sebagai negarawan dan cendekiawan. Pernah hanya dalam dua tahun (45-44 SM), ia menulis banyak buku filsafat dan lima buah buku retorika. Dalam teori, ia tidak banyak menampilkan penemuan baru. Ia banyak mengambil gagasan dari Isocrates. Ia percaya bahwa efek pidato akan baik, bila yang ber­pidato adalah orang baik juga. The good man speaks well. Dalam praktek, Cicero betul-betul orator yang sangat berpengaruh.

Caesar, penguasa Romawi yang ditakuti, memuji Cicero, “Anda telah menemukan semua khazanah retorika, dan Andalah orang per­tama yang menggunakan semuanya. Anda telah memperoleh keme­nangan yang lebih disukai dari kemenangan para jenderal. Karena se­sungguhnya lebih agung memperluas batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas batas-batas kerajaan Romawi”. Kira-kira 57 buah pidatonya sampai kepada kita sekarang ini. Will Durant menyimpulkan kepada kita gaya pidatonya:

“Pidatonya mempunyai kelebihan dalam menyajikan secara bergelora satu sisi masalah atau karakter; dalam menghibur khalayak dengan humor dan anekdot; dalam menyentuh kebanggaan, prasangka, perasaan, patriotisme dan kesalehan; dalam mengungkapkan secara keras kelemahan lawan – yang sebenarnya atau yang diberitakan, yang tersembunyi atau yang terbuka; dalam mengalihkan perhatian secara terampil dari pokok-pokok pembicaraan yang kurang menguntungkan; dalam memberondong pertanyaan retoris yang sulit dijawab; dalam menghimpun serangan-serangan, dengan kalimat-kalimat periodik yang anak-anaknya seperti cambukan dan yang badainya membahana….”

Dari tulisan-tulisannya yang sampai sekarang bisa dibaca, kita mengetahui bahwa Cicero sangat terampil dalam menyederhanakan pembicaraan yang sulit. Bahasa Latinnya mudah dibaca. Melalui pena­nya, bahasa mengalir dengan deras tetapi indah. Puluhan tahun sepeninggal Cicero, Quintillianus mendirikan se­kolah retorika. Ia sangat mengagumi Cicero dan berusaha merumuskan teori-teori retorika dari pidato dan tulisannya. Apa yang dapat kita pelajari dari Quintillianus? Banyak. Secara singkat, Will Durant menceritakan kuliah retorika Quantillianus, yang dituliskannya dalam buku Institutio Oratoria:

Ia mendefinisikan retorika sebagai ilmu berbicara yang baik. Pendidikan orator harus dimulai sebelum dia lahir: Ia sebaiknya berasal dari keluarga terdidik, sehingga ia bisa menerima ajaran yang benar dan akhlak yang baik sejak napas yang ia hirup pertama kalinya. Tidak mungkin menjadi terpelajar dan terhormat hanya dalam satu generasi. Calon orator harus mempelajari musik supaya ia mempunyai telinga yang dapat mendengarkan harmoni; tarian, supaya ia memiliki keanggunan dan ritma; drama, untuk menghidupkan kefasihannya dengan gerakan dan tindakan; gimnastik, untuk memberinya kesehatan dan kekuatan; sastra, untuk membenhik gaya dan melatih memorinya, dan memperlengkapinya dengan pemikiran­-pemikiran besar; sains, untuk memperkenalkan dia dengan pemahaman mengenai alam; dan filsafat, untuk membentuk karakternya berdasarkan petunjuk akal dan bimbingan orang bijak. Karena semua persiapan tidak ada manfaatnya jika integritas akhlak dan kemuliaan rohani tidak melahirkan ketulusan bicara yang tak dapat ditolak. Kemudian, pelajar retorika harus menulis sebanyak dan secermat mungkin.

E.2. RETORIKA ABAD PERTENGAHAN


Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu berkaitan dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan politik: talk it out (‘membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai ha­bis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang pemerintahan, “membicarakan” diganti dengan “menembak”. Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang yang pandai berbicara.

Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang Kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk nmnyampaikan kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah kekecualian pada zaman itu.

Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus sanggup mengajar, menggembirakan, dan meng­gerakkan – yang oleh Cicero disebut sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai tujuan Kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita harus mempelajari teknik penyampaian pesan.

Satu abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan firman Tuhan, “Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka” (Alquran 4:63). Muhammad saw. bersabda, memperteguh firman Tuhan ini, “Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya”.

Ia sendiri seorang pembicara yang fasih – dengan kata-kata singkat yang mengandung makna padat. Para sahabatnya bercerita bahwa ucapannya sering menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan berlinang air matanya. Tetapi ia tidak hanya menyentuh hati, ia juga mengimbau akal para pendengarnya. Ia sangat memperhatikan orang­-orang yang dihadapinya, dan menyesuaikan pesannya dengan keadaan mereka. Ada ulama yang mengumpulkan khusus pidatonya dan me­namainya Madinat al-Balaghah (Kota Balaghah). Salah seorang sahabat yang paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya dalam berbicara. Seperti dilukiskan Thomas Carlyle, “every antagonist in the combats of tongue or of sword was subdited by his eloquence and valor”. Pada Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan kenegarawanan bergabung kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para peng­ikutnya dan diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah).

Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban Islam. Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi, warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa Abad Pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli ba­laghah. Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah pada retorika modern. Balaghah, beserta ma’ani dan bayan, masih tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pen­didikan Islam tradisional.

E.3. RETORIKA MODERN


Abad Pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di Eropa, selama periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabai­kan. Pertemuan orang Eropa dengan Islam – yang menyimpan dan mengembangkan khazanah Yunani – dalam Perang Salib menimbulkan Renaissance. Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali minat orang pada retorika adalah Peter Ramus. Ia membagi retorika pada dua bagian. Inventio dan dispositio dimasukkannya sebagai bagian logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocutio dan pronuntiatio saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi.

Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang membangun jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger Bacon (1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan metode eksperimental, tetapi juga pentingnya pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi retorika. Ia menyatakan, “… kewajiban retorika ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih baik”. Rasio, imajinasi, kemauan adalah fakultas-­fakultas psikologis yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika modern.

Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses psikologis, dikenal sebagai aliran epistemologis. Epistemologi membahas “teori pengetahuan”; asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berusaha mengkaji retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni, yang membahas proses mental).

George Campbell (1719-1796), dalam bukunya The Philosophy of Rhetoric, menelaah tulisan Aristoteles, Cicero, dan Quintillianus dengan pendekatan psikologi fakultas (bukan fakultas psikologi). Psikologi fakultas berusaha menjelaskan sebab-musabab perilaku manusia pada empat fakultas – atau kemampuan jiwa manusia: pemahaman, memori, imajinasi, perasaan, dan kemauan. Retorika, menurut definisi Campbell, haruslah diarahkan kepada upaya “mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan, dan mempengaruhi kemauan”.

Richard Whately mengembangkan retorika yang dirintis Campbell. Ia mendasarkan teori retorikanya juga pada psikologi fakultas. Hanya saja ia menekankan argumentasi sebagai fokus retorika. Retorika harus mengajarkan bagaimana mencari argumentasi yang tepat dan meng­organisasikannya secara baik. Baik Whately maupun Campbell me­nekankan pentingnya menelaah proses berpikir khalayak. Karena itu, retorika yang berorientasi pada khalayak (audience-centered) berutang budi pada kaum epistemologis – aliran pertama retorika modern.

Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles lettres (Bahasa Prancis: tulisan yang indah). Retorika belletris sangat meng­utamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang dengan mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) me­nulis Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Di sini ia menjelaskan hu­bungan antara retorika, sastra, dan kritik. Ia memperkenalkan fakultas citarasa (taste), yaitu kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari pertemuan dengan apa pun yang indah. Karena memiliki fakultas cita­rasa, Anda senang mendengarkan musik yang indah, membaca tulisan yang indah, melihat pemandangan yang indah, atau mencamkan pidato yang indah. Citarasa, kata Blair, mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan inderawi dipadukan dengan rasio – ketika rasio dapat menjelaskan sumber-sumber kenikmatan.

Aliran pertama (epistemologi) dan kedua (belles lettres) terutama memusatkan perhatian mereka pada persiapan pidato – pada penyu­sunan pesan dan penggunaan bahasa. Aliran ketiga – disebut gerakan elokusionis – justru menekankan teknik penyampaian pidato. Gilbert Austin, misalnya memberikan petunjuk praktis penyampaian pidato, “Pembicara tidak boleh melihat melantur. Ia harus mengarahkan mata­nya langsung kepada pendengar, dan menjaga ketenangannya. Ia tidak boleh segera melepaskan seluruh suaranya, tetapi mulailah dengan nada yang paling rendah, dan mengeluarkan suaranya sedikit saja; jika ia ingin mendiamkan gumaman orang dan mencengkeram perhatian mereka”. James Burgh, misal yang lain, menjelaskan 71 emosi dan cara mengungkapkannya.

Dalam perkembangan, gerakan elokusionis dikritik karena per­hatian – dan kesetiaan – yang berlebihan pada teknik. Ketika mengikuti kaum elokusionis, pembicara tidak lagi berbicara dan bergerak secara spontan. Gerakannya menjadi artifisial. Walaupun begitu, kaum elokusionis telah berjaya dalam melakukan penelitian empiris sebelum merumuskan “resep-resep” penyampaian pidato. Retorika kini tidak lagi ilmu berdasarkan semata-mata “otak-atik otak” atau hasil perenungan rasional saja. Retorika, seperti disiplin yang lain, dirumuskan dari hasil penelitian empiris.

Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkem­bangan ilmu pengetahuan modern – khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun mulai digeser oleh speech, speech communication, atau oral communication, atau public speak­ing. Di bawah ini diperkenalkan sebagian dari tokoh-tokoh retorika mutakhir:

1. James A Winans

Ia adalah perintis penggunaan psikologi modern dalam pidatonya. Bukunya, Public Speaking, terbit tahun 1917 mempergunakan teori psikologi dari William James dan E.B. Tichener. Sesuai dengan teori James bahwa tindakan ditentukan oleh perhatian, Winans, men­definisikan persuasi sebagai “proses menumbuhkan perhatian yang memadai baik dan tidak terbagi terhadap proposisi-propo­sisi”. Ia menerangkan pentingnya membangkitkan emosi melalui motif-motif psikologis seperti kepentingan pribadi, kewajiban sosial dan kewajiban agama. Cara berpidato yang bersifat percakapan (conversation) dan teknik-teknik penyampaian pidato merupakan pembahasan yang amat berharga. Winans adalah pendiri Speech Communication Association of America (1950).

2. Charles Henry Woolbert

Ia pun termasuk pendiri the Speech Communication Association of America. Kali ini psikologi yang amat mempengaruhinya adalah behaviorisme dari John B. Watson. Tidak heran kalau Woolbert memandang “Speech Communication” sebagai ilmu tingkah laku. Baginya, proses penyusunan pidato adalah kegiatan seluruh orga­nisme. Pidato merupakan ungkapan kepribadian. Logika adalah da­sar utama persuasi. Dalam penyusunan persiapan pidato, menurut Woolbert harus diperhatikan hal-hal berikut: (1) teliti tujuannya, (2) ketahui khalayak dan situasinya, (3) tentukan proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasi tersebut, (4) pilih kalimat-ka­limat yang dipertalikan secara logis. Bukunya yang terkenal adalah The Fundamental of Speech.

3. William Noorwood Brigance

Berbeda dengan Woolbert yang menitikberatkan logika, Brigance menekankan faktor keinginan (desire) sebagai dasar persuasi. “Keyakinan”, ujar Brigance, “jarang merupakan hasil pemikiran. Ki­ta cenderung mempercayai apa yang membangkitkan keinginan kita, ketakutan kita dan emosi kita”. Persuasi meliputi empat unsur: (1) rebut perhatian pendengar, (2) usahakan pendengar untuk mempercayai kemampuan dan karakter Anda, (3) dasarkanlah pemikiran pada keinginan, dan (4) kembangkan setiap gagasan sesuai dengan sikap pendengar.

4. Alan H. Monroe

Bukunya, Principles and Types of Speech, banyak kita pergunakan dalam buku ini. Dimulai pada pertengahan tahun 20-an Monroe beserta stafnya meneliti proses motivasi (motivating process). Jasa, Monroe yang terbesar adalah cara organisasi pesan. Menurut Monroe, pesan harus disusun berdasarkan proses berpikir manusia yang disebutnya motivated sequence.

Beberapa sarjana retorika modern lainnya yang patut kita sebut antara lain A.E. Philips (Effective Speaking, 1908), Brembeck dan Howell (Per­suasion: A Means of Social Control, 1952), R.T. Oliver (Psychology of Per­suasive Speech, 1942). Di Jerman, selain tokoh “notorious” Hitler, dengan bukunya Mein Kampf, maka Naumann (Die Kunst der Rede, 1941), Dessoir (Die Rede als Kunst, 1984) dan Damachke (Volkstumliche Redekunst, 1918) adalah pelopor retorika modern juga.

Penutup

Dewasa ini retorika sebagai public speaking, oral communication, atau speech communication -diajarkan dan diteliti secara ilmiah di lingkungan akademis. Pada waktu mendatang, ilmu ini tampaknya akan diberikan juga pada mahasiswa-mahasiswa di luar ilmu sosial. Dr. Charles Hurst mengadakan penelitian tentang pengaruh speech courses terhadap pres­tasi akademis mahasiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu cukup berarti. Mahasiswa yang memperoleh pelajaran speech (speech group) mendapat skor yang lebih tinggi dalam tes belajar dan berpikir, lebih terampil dalam studi dan lebih baik dalam hasil akademisnya dibanding dengan mahasiswa yang tidak memperoleh ajaran itu. Hurst menyimpulkan: Data penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa kuliah speech tingkat dasar adalah agen synthesa, yang memberikan dasar skematis bagi mahasiswa untuk berpikir lebih teratur dan memperoleh penguasaan yang lebih baik terhadap aneka fenomena yang membentuk kepribadian. Penelitian ini menjadi penting bagi kita, bukan karena dilengkapi dengan data statistik yang meyakinkan atau karena berhasil memberikan gelar doktor bagi Hurst, tetapi karena erat kaitannya dengan prospek retorika di masa depan.

Selamat belajar, semoga sukses….
 

Contoh Komunikasi - Komunikasi Verbal dan Nonverbal

Banyak sekali contoh komunikasi pada manusia, karena sejatinya manusia adalah makhluk sosial. Sehingga interaksi antarsesama telah menjadi kebutuhan pokok manusia dalam hidup mereka. Berkomunikasi adalah sebuah bagian tak terpisahkan dari interaksi sosial ini. Lalu, apa itu komunikasi? Apakah ada contoh komunikasi? Jika ada apa saja contoh komunikasi itu?

Istilah komunikasi sendiri berasal dari kata Latin Communicare atau Communis yang berarti untuk berbagi, membagi keluar, berkomunikasi, menanamkan, menginformasikan, bergabung, bersatu, dan berpartisipasi dalam. Kita bisa melihat dari contoh komunikasi antarpribadi, ketika dua orang sedang terlibat proses komunikasi, mereka saling berbagi informasi. Demikian juga halnya dengan contoh komunikasi massa, penyampaian pesan atau informasi melalui media massa.

Jadi, dari asal katanya, diketahui bahwa komunikasi itu memerlukan pesan yang hendak dibagi, penyampai pesan dan objek pesan. Proses komunikasi yang terjadi pada semua contoh komunikasi terjadi melalui beberapa elemen komunikasi, yaitu sumber atau pemberi pesan, pesan, media, penerima pesan, serta efek dan umpan balik dari penerima pesan kepada pemberi pesan atau sumber. Semua elemen komunikasi tersebut ada dalam setiap contoh komunikasi. 

Contoh Komunikasi - Definisi Komunikasi Menurut Pakar Komunikasi

Komunikasi memiliki bentuknya masing-masing dilihat dari situasi komunikasi yang berlangsung. Pada dasarnya bila dilihat dari esensi komunikasi berupa penyampaian pesan, kita bisa melihat ada dua contoh komunikasi, yaitu komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Contoh komunikasi verbal adalah komunikasi yang dilakukan melalui kata-kata, sedangkan contoh komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang dilakukan melalui bahasa tubuh.
Apakah contoh komunikasi verbal dan komunikasi non verbal hanya sebatas komunikasi melalui kata-kata dan bahasa tubuh saja? Kita akan melihat bagaimana contoh komunikasi verbal dan contoh komunikasi nonverbal, dengan terlebih dahulu melihat apa definisi dari komunikasi itu sendiri. Komunikasi bisa didefinisikan dari berbagai perspektif, sebagai berikut:
  • Perspektif Filsafat. Komunikasi dimaknai untuk mempersoalkan apakah hakikat komunikator atau komunikan, dan bagaimana ia menggunakan komunikasi untuk berhubungan dengan realitas lain di alam semesta (Rakhmat, 1997: 8). De Arte Rhetorica: siapa yang berbicara, apa yang dibicarakan, dan siapa yang mendengarkan.
  • Perspektif Psikologi. Hovland, Janis, dan Kelly (Rakhmat, 1997: 3) mendefinisikan komunikasi sebagai “the process by which an individual (the communicator) transmits stimulus (usually verbal) to modify the behavior of other individuals (the audience)”. Artinya, proses di mana seorang atau individu (komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dengan lambang kata-kata) untuk mengubah tingkah laku orang lain (komunikan). Lalu, Dance (1967) mengartikan komunikasi dalam kerangka psikologi komunikasi behaviorisme sebagai usaha menimbulkan respon melalui lambang lambang verbal.
  • Perspektif Sosiologi. Colin Cherry (1964) mendefinisikan komunikasi sebagai usaha untuk membuat satuan sosial dari individu dengan menggunakan bahasa atau tanda.
Berdasarkan definisi komunikasi dari beberapa perspektif tersebut, kita bisa melihat definisi dari komunikasi. Dari definisi ini juga kita bisa melihat beberapa contoh komunikasi. Berikut beberapa definisi komunikasi dari beberapa ahli:
  • Komunikasi adalah suatu proses dimana kita mengerti orang lain dan kemudian berusaha untuk dimengerti oleh mereka. Ini dinamis, berubah secara konstan dan membagi respon untuk situasi yang total (Andersen).
  • Komunikasi adalah situasi-situasi yang memungkinkan sumber mentransmisikan suatu pesan kepada seorang penerima dengan disadari untuk memengaruhi perilaku penerima (Gerald R. Miller).
  • Komunikasi adalah suatu proses yang membuat sama bagi dua orang atau lebih apa yang tadinya merupakan monopoli seseorang atau sejumlah orang (Alex Gode).
  • Komunikasi adalah pertukaran verbal pikiran atau gagasan (John B. Hoben).
  • Komunikasi adalah proses penciptaan makna antara dua orang (komunikator I dan komunikator II) atau lebih (Tubbs dan Moss).
  • Komunikasi adalah transmisi informasi (Bernard Berelson dan Gary Steiner).
  • Harnack dan Fest (1964) menganggap komunikasi sebagai proses interaksi di antara orang untuk tujuan integrasi intrapersonal dan interpersonal.
  • Edwin Neumann (1948) mendefinisikan komunikasi sebagai proses untuk mengubah kelompok manusia menjadi berfungsi (Rakhmat, 1997: 8).

Contoh Komunikasi – Tipe Komunikasi

Secara garis besar contoh komunikasi berdasarkan bentuk komunikasinya di bagi menjadi dua, komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Bagaimana contoh komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal itu? Berikut bisa kita lihat bagaimana contoh komuikasi verbal dan komunikasi nonverbal:

Komunikasi Verbal

Komunikasi verbal disampaikan dengan bahasa verbal. Contoh komunikasi bahasa verbal menggunakan kata-kata yang mewakili berbagai aspek realitas individu. Aspek realitas ini meliputi bahasa asal, kebiasaan, tingkat pengetahuan dan intelejensia sampai aspek budaya. Komunikasi verbal adalah jenis komunikasi yang sehari-hari dilakukan manusia.
Namun, walaupun terbiasa berkomunikasi secara verbal, ternyata komunikasi verbal mempunyai keterbatasan. Keterbatasan itu disebabkan bahasa verbal yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi memiliki keterbatasan pula.Keterbatasan pertama adalah keterbatasan bahasa itu sendiri.
Keterbatasan bahasa sebagai contoh komunikasi verbal ini di antaranya meliputi:

Keterbatasan Jumlah Kata yang Tersedia untuk Mewakili Objek

Soal warna misalnya, telah diketahui bahwa mata kita dapat membedakan tujuh juta warna yang berbeda. Seharusnya kita memiliki tujuh juta kata untuk menyatakan setiap warna ini dalam contoh komunikasi verbal. Pada kenyataannya, kita hanya memiliki puluhan kata saja untuk menyatakan warna.

Kata-Kata Bersifat Ambigu dan Kontekstual

Contoh komunikasi verbal kata keras misalnya, pada minuman keras, yang berarti minuman yang memabukkan sedangkan kata keras pada angin keras berarti kencang atau cepat.

Kata-Kata Mengandung Bias Budaya

Bahasa sangat terikat oleh konteks budaya. Contoh komunikasi sederhana, kata rice dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan menjadi tiga kata yang berlainan makna dalam bahasa Indonesia, yaitu gabah, beras dan nasi. Hal ini menunjukkan bahwa budaya Indonesia lebih menghargai benda ini sehingga memiliki kosakata yang lebih lengkap.

Pencampuradukan Antara Fakta, Penafsiran dan Penilaian

Hal ini sering terjadi misalnya contoh komunikasi pada media gosip. Mereka lebih banyak menyajikan penafsiran dan penilaian dibandingkan dengan menyajikan fakta apa adanya.  

Komunikasi Nonverbal

Komunikasi nonverbal secara sederhana bisa diartikan sebagai semua isyarat yang bukan kata-kata. Contoh komunikasi nonverbal meliputi:
  • Bahasa tubuh. Semua anggota tubuh seperti wajah, kepala, tangan, kaki dan bahkan seluruh tubuh bisa digunakan sebagai bahasa simbolik. Mengacungkan jempol contohnya, yang berarti "oke", "bagus", atau menyatakan persetujuan.
  • Sentuhan. Jabat tangan misalnya bisa berarti sebuah tanda bagi kesepakatan kedua belah pihak yang berkomunikasi.
  • Parabahasa. Parabahasa adalah aspek-aspek suara selain ucapan yang dapat dipahami. Contoh parabahasa misalnya, intensitas (volume) suara, intonasi, warna suara, siulan, siutan, tawa, tangis dll.
  • Penampilan fisik. Penampilan fisik bisa menjadi media penyampai pesan tak langsung. Ketika ke undangan pernikahan misalnya, kita akan berpakaian rapi sebagai rasa hormat kita pada pengundang.
  • Warna. Warna sering digunakan untuk menunjukkan emosi, cita rasa, keberpihakan politik bahkan keyakinan agama. Warna merah misalnya, sering digunakan sebagai simbol kemarahan dan protes.

Contoh Komunikasi Berdasarkan Bentuknya

Contoh komunikasi tidak hanya dilihat dari aspek tipe komunikasi, yaitu komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Masih ada beberapa contoh komunikasi lainnya yang dilihat berdasakan bentuk komunikasi. Apa saja contoh komunikasi berdasarkan bentuk komunikasi itu? Berikut beberapa contoh komunikasi berdasarkan bentuk, di antaranya:
  • Komunikasi Antarpribadi. Komunikasi antarpribadi adalah relasi individual dengan orang lain dalam konteks sosialnya. Melalui proses ini individu menyesuaikan dirinya dengan orang lain lewat peraan yang disebut pemindahan dan penerimaan (Ruesch dan Bateson dalam Little John (1978).
  • Komunikasi Antarbudaya. Komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yg mewakili pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi  perilaku komunikasi para peserta (Dood, 1991: 5).
  • Komunikasi Massa. Komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (Rakhmat, 1997: 148). Media massa menyajikan jenis khusus komunikasi yang melibatkan tiga perangkat kondisi khusus, yaitu khalayak, pengalaman komunikan dan komunikator.
  • Komunikasi Politik. Komunikasi politik itu adalah untuk menghubungkan pikiran politik yang hidup dalam masyarakat, baik pikiran intern golongan, instansi, asosiasi, atau pun sektor kehidupan politik pemerintahan (Rusadi dalam Harun, 2006: 3).
Permasalahan Komunikasi
     Secara umum permasalahan komunikasi digolongkan mencari dua bagian besar.  Berikut ini merupakan paparan permasalah komunikasi yang terjadi pada lingkungan masyarakat maupun lingkungan perusahaan :
  • Saluran komunikasi macet
     Saluran atau media komunikasi yang tak dibina dengan baik berdampak terjadi kemacetan komunikasi.  Saluran itu meliputi media seperti email, telpon, korespondensi  maupun komunikasi interaktif seperti meeting, sharing dan lain sebagainya.  Agar komunikasi lancar sebaiknya kedua saluran tersebut diaktifkan lagi. Semua ini demi kebaikan bersama dan menghindari miskomunikasi. 
  • Hambatan bahasa dan budaya
      Salah satu permasalah komunikasi adalah bahasa dan latar budaya yang berbeda.  Tidak mampu berkomunikasi dengan bahasa asing misalnya Inggris atau Perancis merupakan salah satu hambatan dalam penyampaian informasi.  Masalah ini sering terjadi di mana saja, termasuk di Indonesia. Demikian juga dengan budaya terkadang menghambat terjadikan pertukaran informasi.  Demikianlah sedikit ulasan tentang contoh komunikasi dan permasalahannya.
 
 
Support : Makrus Sahlan | Makrus twitter | Blog PMR
Copyright © 2011. Makrus Bindo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger