Cerpen: Achmad Munjid
Bunga, sayang...
Kutulis surat ini di sebuah kafe, sesaat setelah senja melenyap di kaki langit Kota Laut yang tenteram. Tahukah kamu, sejak kita memutuskan untuk tidak pernah lagi saling bertemu, aku segera berkemas mengikuti pelayaran panjang yang tak akan kembali ini. Sebuah pengembaraan yang akan kutempuh sepanjang waktu, menuju Negeri di Balik Bulan. Kota Laut yang tua dan megah ini adalah tempat persinggahan entah yang keberapa sejak keberangkatan kami dari Kepulauan Halmahera bertahun silam.
Aku bergabung bersama rombongan yang kira-kira terdiri dari dua ribu orang, dengan dua kapal yang selalu meluncur gagah membelah gelombang. Sebagian besar mereka adalah para pengungsi korban kerusuhan. Sedang beberapa ratus orang lainnya merupakan penumpang khusus yang datang dari segala penjuru. Yakni, para pengemban tugas nenek moyang masing-masing yang telah mempersiapkan mereka sejak beberapa generasi sebelum mereka lahir. Mungkin akulah satu-satunya anggota yang bergabung karena alasan yang bersifat hampir kebetulan.
Kalau saja matamu yang indah bisa ikut menyaksikan pemandangan luar biasa menakjubkan malam itu, kau pun tentu akan tak kuasa menahan hasrat seperti setiap orang di antara kami yang tergabung dalam kudus ini. Ialah suatu dorongan murni yang demikian teguh untuk segera menembus lautan waktu. Untuk meninggalkan seluruh nestapa dan derita, dan menyongsong kehidupan baru di negeri penuh pesona, Negeri di Balik Bulan.
Bungaku sayang, entah setelah berapa jam kami menunggu dengan perasaan hampir-hampir putus asa, menjelang pagi di awal milenium itu akhirnya kami pun benar-benar menjadi saksi atas munculnya sebuah garis lurus berwarna putih keperakan yang kilau-kemilau dan kian membiru di kedua ujungnya. Itulah suatu wujud yang tak sabar telah kami tunggu-tunggu dengan jantung kian berdebar. Garis itu mula-mula nampak sebagai cahaya tipis yang memantul dari wajah bulan yang menyembul dari balik menara mercusuar Pelabuhan Teluk Malina. Di bawah lengkung langit berwarna kesumba, cahaya itu turun menembus kabut yang mengambang di atas permukaan laut dan seketika mengubahnya menjadi taburan aneka partikel mutiara yang tak terhitung jumlahnya.
Karena efeknya yang sangat lembut pada retina, sama sekali tak kami sadari bahwa dalam beberapa detik berikutnya garis itu sebenarnya telah menjadi sapuan sinar teramat tajam yang membuat segenap wujud di depan kami tampak bahkan lebih nyata dari manifestasinya di siang hari. Pahatan indah kulit-kulit kerang yang berserakan, buih-buih gelombang yang pecah berpendaran, terumbu karang tak terperikan. Sungguh, semesta wujud di sekeliling kami telah menjelma begitu sempurna. Segalanya hadir tanpa bayangan. Dalam gelimang cahaya seperti itu sampai-sampai hampir kami semua lupa bahwa di dunia ini memang pernah ada malam.
Ketika itu garis cahaya yang telah menyerap segenap ketakjuban kami pun telah menjadi sebentuk sabuk permata raksasa yang mendekap lautan. Di depan kami, kini menjelmalah serupa hologram jalan raya maha licin dan terang-benderang yang siap menghantarkan manusia ke tempat segala tujuan. Entah berapa lama setiap pasang mata kami yang menyaksikan kenyataan itu sama sekali tak kuasa mengerjap, sebelum masing-masing akhirnya menitikkan air mata bahagia. Seperti yang secara rahasia telah diwariskan turun-temurun di antara mereka yang hidup menderita, itulah peristiwa penuh kemuliaan yang hanya terjadi selama beberapa saat saja dalam setiap seribu tahun. Ialah munculnya Garis Milenia, satu-satunya pedoman mengenai arah bagi mereka yang hendak berlayar menuju Negeri di Balik Bulan.
Maka, gegap-gempitalah puja-puji dan sorak-sorai kami mengawali perjalanan panjang itu. Diiringi suara mesin kapal yang menderu dan bunyi yang terus mendengung panjang saling bersahutan, kafilah kami bergegas. Kapal kami bertolak ke arah barat, dituntun oleh kemilau garis mukjizat yang membangkitkan segenap gairah bahagia manusia itu. Setelah beberapa mil baru kami sadari bahwa ternyata bahkan kami tak sempat lagi menengok ke belakang untuk sekedar mengucapkan "selamat tinggal" pada Pelabuhan Teluk Malina, tempat di mana seluruh penderitaan telah kami kubur untuk selama-lamanya.
Ketika segenap keajaiban yang telah melenyapkan setiap ingatan dan kata-kata itu akhirnya mendadak berpendar tanpa bekas, tubuh kami serasa serakan lembaran-lembaran kapas yang baru saja mendarat setelah melayang-layang mengarungi nun berlapis langit. Untuk beberapa saat, mata kami hanya bisa lamat-lamat memandangi guratan-guratan kusam berwarna merah di ufuk timur yang kemudian kami kenali kembali sebagai pertanda terbitnya fajar. Namun, bersamaan dengan berhembusnya angin pagi yang pertama dan riak ombak yang memecah menerpa badan kapal, kini hati kami telah sepenuhnya diliputi rasa damai dan sentosa. Dan tahukah kamu? Yang perlu kami lakukan selanjutnya tinggallah berlayar dan terus berlayar mengikuti arah peredaran matahari dan rembulan.
Kami tak akan pernah kurang suatu apa. Seperti sudah kami buktikan sendiri, setiap kali berlabuh, masyarakat di mana kami singgah bukan cuma telah mengenali kami. Mereka selalu menjemput kami dengan segala kebesaran, tepat di bibir pantai tempat kapal kami merapat.
Selamat datang, para musafir agung.
Serangkaian perjamuan sebagai ungkapan penghormatan paling tulus pun senantiasa terhidang dalam kelimpahan tiada tara selama persinggahan kami, di mana saja.
Meski telah kutekan-tekan begitu rupa, keheranan itu sempat terlontar juga.
Kami telah menunggu Anda sejak beratus generasi yang silam, secara turun-temurun, jawab mereka.
Tepatnya, sejak nenek moyang kami menyambut para pendahulu Anda sekalian, seribu tahun yang lalu.
Tuhan Yang Agung, puji seseorang di antara kami.
Kehadiran Anda adalah isyarat akan terpeliharanya kesejahteraan hidup kami dan anak cucu kami selanjutnya. Hanya karena nasib telah menentukan bahwa kami tidak bisa bergabung dengan Anda, maka kami menahan diri untuk tidak turut serta. Tapi, ijinkanlah kami mengantar Anda sekalian dengan sekadar perbekalan yang mungkin diperlukan sampai tempat persinggahan berikutnya, pinta tetua mereka begitu kami berpamitan. Di atas geladak pun termuatlah segala yang kami butuhkan untuk masa hingga terbitnya sekian bulan purnama berikutnya.
Bunga, maka seluruh pengalaman pelayaran mengikuti garis takdir itu sungguh tak terperikan menakjubkannya.
Kadang terlukis juga dalam anganku, seandainya saja aku bisa menempuh perjalanan kudus ini bersamamu. Memang, ketika hendak berangkat, di perbatasan kota ada saja orang-orang yang meneriaki kita sebagai dua anak manusia yang bebal. Sebagian lagi hanya mengurut dada iba, sementara yang lain berdoa. Tapi ada juga yang bersorak: Bravo... Go west young happy couple; just go to where God keep his promise.
Lalu, dari Pelabuhan Teluk Malina itu, kapal kita pun melaju, menembus langit harapan. Kita berpelukan di ujung haluan, menyongsong samudera yang menggelora. Bintang-bintang berkedipan setengah terpejam karena iri dan ikan-ikan pun terpaku di balik karang, mengintip betapa setiap helaan nafas dan aliran darah kita begitu sempurna menyatu. Meski akan ada jutaan peristiwa yang mengharu-biru, pelukan kita tak akan pernah melemah, hingga para malaikat terharu dan Tuhan tak lagi mengijinkan kita tersentuh bahaya.
Kita akan terus erat berdekapan sebagai sepasang kekasih yang setiap sel tubuh masing-masing begitu merindukan pasangannya, yang jiwa masing-masing selalu telanjang, saling merangkum dan memenuhi lainnya. Cinta adalah hasrat untuk memberi dan kesediaan untuk menerima seutuh-utuhnya, setulusnya, apa adanya. Dan kekuatan tak terperikan itulah yang telah mempersatukan kita. Berdua kita pun tak hendak berhenti menghayati penaklukan puncak-puncak gelombang paling indah yang bisa dialami sepasang cucu Adam dan Hawa yang saling mendamba.
Maka di suatu fajar yang cerah, ketika kita begitu tenang saling menatap di bawah keteduhan sebuah kota tempat kita istirah, lahirlah anak kita yang pertama. Seorang anak yang kelak akan selalu bertanya dengan mata berbinar dan kita menjawab segalanya dengan penuh suka-cita. Kita akan menyelimutinya dengan segenap cinta, membimbingnya dengan seluruh harapan dan menopangnya dengan berlaksa-laksa doa dan airmata. Kita tak henti memperhatikan setiap langkah kaki dan gerak bibirnya yang mungil.
Mama, Mama, itu apa, Ma? tanyanya padamu.
Oh, itu bunga, sayang, jawabmu. Indah bukan?
Horeee, bunga, bunga. Indaah sekali, Ma....., ia bersorak riang. Aneka warna kupu-kupu ikut tertawa-tawa ria mengitarinya.
Kelak kamu juga harus memiliki hati yang indah, seindah hati ibumu, aku membelainya. Dan ia menari dan bergelayutan manja di pangkuan kita.
Yang itu apa, Pa?
Itulah matahari, sumber kehidupan.
Horee, mataharii..., ia pun menyanyi.
Yang itu?
Itulah bulan, sayang, jawabmu syahdu. Ialah lambang kesetiaan. Siapa pun yang setia pada prinsip dan keyakinan dirinya, dia akan mempesona seperti bulan.
Betul, Pa? Bisakah kita ke sana?
Kita bahkan sedang menuju Negeri di Balik Bulan.
Horee, horeee..... Jadi kita akan bertemu para bidadari yang cantik-cantik itu, Pa? Jadi, kita juga akan memetik harpa para dewa, Ma? Sungguh?! Engm,... kalau yang itu, apa?
Yang biru membentang dan menggelora itu? Laut, Sayang. Ia amat dalam. Tapi, kamu harus tahu, masih lebih dalam lagi cinta yang telah melahirkanmu. Lagi-lagi sepasang tangannya yang mungil itu ditepuk-tepukkannya gembira. Kini ganti tanganmu yang membelainya.
Tapi, itu siapa, Ma?
Ooh, anakku, itulah orang-orang dan anak-anak yang malang, Sayang. Orang-orang menyebut mereka kaum gelandangan. Makanya, jadilah anak yang cerdas, penuhilah hatimu dengan cinta dan kasih sayang, supaya kelak kamu bisa menolong mereka.
Ya, Mama, matanya berkaca-kaca. Kita pun menciumnya haru dan mesra, kita berciuman haru dan mesra. Dan dunia pun terkesima. Lalu, kita melanjutkan perjalanan di bawah naungan langit yang kian luas mengembang. Sementara kebahagiaan kian penuh mengisi cakrawala.
Betapa pun kini kau tak ada bersamaku. Lagi pula, tanpa pertengkaran dan perpisahan itu, mustahil pula rasanya kini aku berada di tengah kafilah para musafir ini. Bungaku, sungguh, sebelum meninggalkan Pelabuhan Teluk Malina dulu, keadaan seperti ini membuat hatiku demikian pilu. Bahwa akhirnya kita tak bisa hidup bersama adalah luka yang nyaris tak tertanggungkan pedihnya. Hanya kekuatan suci cintalah yang telah memberiku tenaga untuk bertahan dan membiarkan anak panah yang entah telah dibidikkan oleh tangan siapa terus menghunjam di dadaku. Kuhayati seluruh rasa sakitnya, tanpa merintih, tanpa mengadu, bahkan kepada Tuhan. Memang, aku tak pernah bisa berhasil dengan sempurna. Itulah sebabnya, aku terpaksa melukis sebagian cabikan luka itu dengan darah yang menetes dari sana, kutulis rasa sakitnya menjadi puisi, dan kusenandungkan rintihan piluku sebagai lagu.
Tapi kini, semua itu telah kutanggalkan di Pelabuhan Teluk Malina, di Kota Lama, tempat kita bertahun-tahun terus bercumbu diam-diam tanpa mengenal waktu. Kalau suatu hari kau sempat menemukannya kembali di suatu galeri milik seorang teman, di toko-toko buku, atau mendengar pengamen bis kota yang menyanyikan lukaku. Hanya itulah yang bisa kutinggalkan sebagai kenangan untukmu. Semoga ia pun bisa menjadi hiburan bagi para kekasih yang mengalami derita sepertiku.
Kini, aku telah tenteram dalam bentangan triliunan mil perjalanan yang akan terus kutempuh sepanjang waktu, menuju negeri segala kedamaian, Negeri di Balik Bulan. Beruntung aku masih menyimpan alamat kamu sehingga aku bisa mengirim surat ini, sebagai bukti bahwa aku tetap mengenangmu. Memang, pada akhirnya, tak ada lagi yang patut disesali. Juga apa yang telah terjadi di antara kita.
Meski tak lagi bisa menyentuhmu, dari jauh aku senantiasa bisa mencium kembali setiap aroma yang dulu kunikmati dari segenap pori-pori tubuhmu. Bungaku, cinta yang suci memang tetap indah untuk dikenang. Ia abadi. ***
Post a Comment