Cerpen: Pamusuk Eneste
SEBETULNYA sudah berulang kali istri Kolbuher memperingatkan agar buku-buku di perpustakaan suaminya tidak ditambah lagi. Namun, peringatan itu tampaknya seperti angin lalu saja. Tiap hari ada saja buku yang datang. Tiap hari ada saja majalah atau jurnal yang datang.
"Lama-lama uang pensiunanmu habis untuk membeli buku, Pak," kata sang istri.
"Lo, aku kan tidak beli buku-buku itu, Bu. Mereka yang mengirimi aku buku. Masa aku tolak? Tidak mungkin toh," ujar Kolbuher.
Sejak pensiun beberapa bulan yang lalu, Kolbuher sebetulnya sudah tidak pernah membeli buku. Itu kesepakatan dengan istrinya dan dengan dirinya sendiri.
"Lagi pula, usia Bapak kan sudah lanjut. Kasihan Bapak harus mengurus sendiri buku-buku itu."
"Harusnya memang aku menggaji seseorang untuk mengurus perpustakaanku."
Pada saat lain, istri Kolbuher mengatakan, "Lama-lama perpustakaanmu tidak bisa lagi menampung buku. Jangan-jangan, rumah kita juga bisa tenggelam karena buku-bukumu."
Namun, buku tetap saja mengalir ke rumah Kolbuher. Oleh karena itu, istri Kolbuher malah pernah berkata, "Hati-hati lo, Pak. Suatu ketika Bapak bisa ditelan buku-buku itu."
***
KALAU sudah masuk ke perpustakaan merangkap ruangan kerjanya itu, Kolbuher memang tidak mau diganggu oleh siapa pun. Bahkan oleh istrinya sendiri! Ia juga tidak suka ada orang lain masuk ke ruangan itu meski hanya untuk membersihkan debu atau mengepel lantainya sekalipun. Ia tidak mau ada orang yang memindah-mindahkan susunan buku di perpustakaannya itu. Menurut Kolbuher, "Kalau letak buku di ruangan itu berubah maka aku akan bingung mencarinya nanti bila diperlukan."
Perpustakaan Kolbuher berukuran 4x6 meter. Jendelanya menghadap ke timur. Kalau pagi, ruangan itu memperoleh sinar matahari. Jendela itu dibuka sepanjang hari kecuali jika turun hujan.
Di keempat sisi tembok berdiri rak buku yang terbuat dari kayu, berpetak-petak, dan penuh dengan buku hingga ke langit-langit. Bahkan di lantai depan rak buku itu pun bergeletakan buku yang tidak termuat dalam rak.
Di tengah ruangan menghadap ke jendela, membelakangi pintu masuk, terdapat kursi empuk dan meja kerja Kolbuher. Di meja itu ada komputer. Namun, meja itu pun terasa sumpek karena kiri kanannya penuh dengan buku.
Istri Kolbuher sudah mengingatkan agar buku di meja itu disingkirkan sebagian. Dengan demikian, Kolbuher bisa lebih lega membaca, menulis, ataupun menggunakan komputer.
Namun, Kolbuher cuek saja. Bahkan, Kolbuher juga bergeming ketika istrinya berkata sambil meninggalkan perpustakaan yang sumpek itu, "Suatu saat, buku-buku itu bisa menelanmu hidup-hidup, lo Pak."
***
BUKU-BUKU itu pula yang menyebabkan istri Kolbuher kini berada di kantor polisi. "Ketika Ibu meninggalkan Bapak menuju warung, apakah Bapak masih sehat?" istri Kolbuher mengangguk.
"Waktu itu, Bapak tidak mengatakan apa-apa?"
"Tidak, Pak."
"Barangkali memesan sesuatu dari warung?"
Istri Kolbuher menggeleng lagi.
"Misalnya minta dibelikan rokok?"
"Suami saya tidak merokok, Pak."
"Setahu Ibu, apa Bapak punya penyakit?"
"Setahu saya Bapak tidak mengidap penyakit apa-apa."
"Jantung, misalnya?"
Istri Kolbuher menggeleng.
"Atau penyakit lain barangkali?"
"Tidak."
"Paru-paru?"
Istri Kolbuher untuk kesekian kalinya menggeleng dan kemudian berkata, "penyakitnya cuma satu, Pak...."
"Apa itu, Bu?"
"Penyakitnya suka baca dan dia kutu buku."
***
ISTRI Kolbuher memang tidak habis mengerti. Meski sudah bersepakat untuk tidak membeli satu eksemplar buku pun, koleksi buku Kolbuher tetap saja bertambah dari hari ke hari.
Ada saja pengarang yang merasa tidak afdal kalau tidak mengirimkan buku barunya kepada Kolbuher. Ada saja penerbit yang merasa belum sreg kalau tidak mengirimi Kolbuher buku baru mereka. Ada saja kenalan Kolbuher yang baru pulang dari luar negeri dan mengoleh-olehinya buku. Ada saja tetangga Kolbuher yang bekerja di penerbit dan percetakan yang menghadiahinya buku baru.
"Lha, rumah kita ini jadi kayak perpustakaan saja, Pak," kata istrinya pada suatu ketika.
"Ya, tak apa kan, Bu?"
"Tapi bukumu sudah merayap ke mana-mana, Pak. Ke ruang makan, ke kamar tidur, ke ruang keluarga."
"Ya, tak apa toh Bu? Nanti juga pasti ada gunanya."
Kalau banyak orang bingung menghadapi pensiun, tidaklah demikian dengan Kolbuher.
"Aku sudah merencanakan banyak hal untuk mengisi pensiunku," katanya.
Satu hal yang pasti ingin dilakukan Kolbuher adalah membaca semua buku koleksinya yang tak sempat dibaca selama ini.
Setelah membacai buku itu, rencana lain Kolbuher ialah menulis. Dari membaca buku itu, pasti timbul ide menulis artikel. Kalau dimuat, honornya lumayan untuk menambah uang pensiun. Di samping itu, Kolbuher juga bisa menulis resensi buku. Bukan hanya itu. Kolbuher pun bisa menulis pengalamannya selama menjadi direktur sebuah perusahaan. Misalnya, menulis sekitar manajemen, pengelolaan SDM, dan macam-macam.
Jadi, Kolbuher merasa, ia pasti tidak akan kesepian menjalani masa pensiun. Pasti banyak kegiatan bermanfaat yang bisa dilakukannya. Apalagi ia masih sering diundang berceramah ke berbagai kampus dan perusahaan untuk 'berbagi pengalaman'.
Kalau bosan membaca, menulis, dan berceramah, Kolbuher pun bisa berkebun. Cukup banyak tanaman di halaman rumahnya. Memotong batang, ranting, dan daun tanaman, serta mengganti tanahnya dan memupuknya, tentulah kegiatan yang juga banyak memakan waktu. Untungnya, Kolbuher senang berkebun dan memelihara tanaman.
"Jadi, mana mungkin aku kesepian," katanya kepada seorang temannya yang pernah mengatakan bahwa orang pensiun itu sering kesepian.
***
SEBELUM pensiun, Kolbuher memang tergolong rajin ke toko buku. Kalau ia menemani istrinya berbelanja ke pasar swalayan di plaza atau mal, Kolbuher selalu menyempatkan diri ke toko buku.
Menurut Kolbuher, kalau sudah ke toko buku, "Rasanya ada yang kurang kalau tidak beli buku. Ibarat ke Yogya tapi tidak ke Malioboro, atau ibarat ke Roma tapi tidak ke Koloseum".
Itu pula yang menjengkelkan istri Kolbuher. Setiap ke toko buku, Kolbuher pasti beli buku (minimal satu buku), padahal istrinya tahu persis buku itu hanya ditumpuk di rumah alias tak pernah dibaca. Bagaimana mau dibaca? Pukul 5.30 pagi Kolbuher sudah meninggalkan rumah dan berangkat ke kantor. Tiba kembali di rumah pukul 18.00, kadang-kadang pukul 19.00, atau bahkan pukul 20.00 (kalau ada rapat mendadak). Sudah capek! Kapan mau baca buku?
"Kalau tak sempat dibaca buat apa beli, Pak?" kata istrinya.
"Siapa tahu bukunya dilarang kelak," jawab Kolbuher. "Jadi, aku tak perlu heboh mencari bukunya kalau nanti diberedel penguasa."
Pada saat lain, Kolbuher memberi alasan lain,
"Siapa tahu buku itu tidak cetak ulang. Jadi, aku sudah punya bukunya."
Istrinya masih belum paham jalan pikiran Kolbuher.
"Kalau tidak dibaca, kita kan cuma buang-buang uang, Pak. Lebih baik ditabung duitnnya. Mana memenuhi rumah lagi, padahal Bapak sendiri tahu, rumah kita sudah penuh dengan buku."
"Nanti akan kubaca setelah pensiun."
***
KOLEKSI buku Kolbuher aneka ragam. Buku apa saja dia koleksi, baik buku antik maupun buku baru. Dia punya buku History of Java Raffles. Ada buku Mein Kampf-nya Hitler. Ada juga Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta edisi 1952. Ada pula novel Siti Nurbaya Marah Roesli cetakan 1922. Ada buku Also sprach Zarathustra-nya Nietzsche. Atlas juga dia koleksi, termasuk atlas kuno semisal Atlas Sejarah karya Muhammad Yamin.
Itu pula yang membingungkan istri Kolbuher.
"Untuk apa sih menyimpan buku-buku kuno itu, Pak? Cuma buang-buang duit dan membuat rumah kita kayak gudang."
"Siapa tahu anak cucu kita nanti membutuhkannya."
"Kalau anak cucu kita tidak membutuhkan, bagaimana?"
"Mungkin tetangga kita membutuhkannya."
"Kalau mereka tidak membutuhkannya?"
"Siapa tahu anggota masyarakat lain membutuhkan. Pokoknya, aku yakin Bu, orang, entah siapa, suatu ketika pasti membutuhkan buku yang aku koleksi ini."
***
DALAM kenyataannya, memang banyak orang yang membutuhkan buku koleksi Kolbuher. Uniknya, Kolbuher selalu rela meminjamkan bukunya tanpa bayar dan tanpa jaminan.
"Lo, kok bisa?" Anda barangkali tak percaya.
"Saya percaya, kalau seseorang meminjam buku saya dan tidak mengembalikannya, orang itu akan kualat dan tak berani datang ke sini lagi," kata Kolbuher.
Memang, semua buku yang dipinjamkan Kolbuher selalu dikembalikan tepat pada waktunya. Tidak pernah ada yang mangkir atau hilang atau sobek halaman-halamannya.
Dengan begitu, banyak orang berutang budi pada Kolbuher. Sering orang mencari buku ke Perpustakaan Kota atau Perpustakaan Nasional, namun tak menemukannya.
"Kalau sudah begitu, bahagia rasanya dapat membantu orang yang memerlukan buku itu," kata Kolbuher.
Namun, istri Kolbuher merasa perilaku suaminya itu malah sia-sia saja.
"Rumah kita jadi kayak perpustakaan umum saja, Pak."
"Tidak apa kan kita membantu orang lain."
"Ya, tapi rumah kita kan jadi ribet terus. Tiap hari saja ada orang yang mencari buku ini dan buku itu."
***
DARI hari ke hari, koleksi buku Kolbuher bertambah terus. Makin lama makin penuh rumahnya. Hanya kamar mandi dan dapur saja yang tidak dikepung buku. Tempat tidur Kolbuher yang bagian kepalanya ada raknya dan bisa diisi buku sampai ke atas pun dipenuhi buku. Pernah suatu malam, Kolbuher terbangun secara mendadak karena kepalanya kejatuhan buku. Pernah pula seorang cucu Kolbuher terpeleset karena kebetulan ada buku yang jatuh. Pada saat lain, seorang tamu pernah menabrak buku ketika hendak ke toilet.
Pendek kata, bagaimana istri Kolbuher menolak bertambahnya koleksi buku di rumahnya, ada saja alasan Kolbuher untuk membantahnya. Sampai-sampai istri Kolbuher kehabisan akal untuk menyetop aliran buku ke rumah mereka. Kata sang istri, "Terserah Bapak saja. Pokoknya, aku sudah peringatkan Bapak, lo. Kalau ada apa-apa, aku tidak tanggung, lo...."
Tak!
Ada sesuatu yang berdetak dalam dada Kolbuher. Kalau ada apa-apa, kata istrinya. Ada apa-apa maksudnya? Kolbuher tidak bisa menduga apa makna kata-kata terakhir istrinya. Ketika Kolbuher mau bertanya, istrinya sudah ngeloyor pergi.
"Saya mau ke warung sebentar," kata istrinya.
***
"BERAPA lama Ibu di warung?" tanya polisi.
"Tidak lama, Pak."
"Kira-kira lima belas menit, Pak."
"Ketika Ibu pulang, apa yang Ibu saksikan?"
"Pintu ruang perpustakaan Bapak tidak bisa dibuka."
"Lantas apa yang Ibu lakukan?"
"Saya ketok-ketok, sambil memanggil-manggil, 'Pak, Pak. Tolong buka pintunya'."
"Apa reaksi Bapak?"
"Tak ada reaksi. Biasanya kalau saya ketok-ketok, Bapak menyahut dari dalam, atau melongok sebentar...."
"Lalu, apa yang Ibu lakukan selanjutnya?"
"Saya ke rumah tetangga."
"Lantas?"
"Tetangga saya sudah melongok dari jendela...."
***
SETELAH beristirahat beberapa menit, karena istri Kolbuher minta minum, polisi melanjutkan pemeriksaan.
"Setelah tetangga melongok dari jendela, apa yang dia lihat?"
"Kata tetangga perpustakaan Bapak seperti baru diguncang gempa hebat. Semua bubrah, berantakan, amburadul, dan berjumpalitan. 'Seperti kapal pecah, Bu', kata tetangga itu."
"Bapak sendiri di mana?"
"Itulah yang tidak saya tahu, Pak."
Polisi diam sebentar.
Lantas, istri Kolbuher hanya mengatakan "jangan-jangan ..." tanpa melanjutkan kata-katanya. Selanjutnya, istri Kolbuher memejamkan mata. Seperti menahan sesuatu yang tak terbayangkan dan tak terduga telah terjadi pada suaminya.
***
KEESOKAN harinya, setelah pintu ruang perpustakaan Kolbuher dibongkar paksa, teka-teki yang menimpa Kolbuher terkuak.
TV 24 menyajikan berita: "Seorang pensiunan telah mati ditelan buku-bukunya. Kejadian itu baru diketahui setelah istrinya pulang dari warung. Ketika istrinya pergi ke warung, suaminya sedang mencari buku di ruang kerjanya yang penuh dengan buku. Entah bagaimana, rak-rak buku di keempat sisi ruangan kerja itu ambruk secara bersamaan waktunya dan menimpa orang yang ada di ruangan itu. Korban yang merupakan kolektor buku kesohor di negeri ini bernama Kolbuher."
Beberapa menit kemudian, SMS di HP orang-orang yang pernah meminjam buku dari Kolbuher secara berantai berbunyi. isi teksnya: "Pak Kolbuher sudah meninggalkan kita semua untuk selamanya. Besok kita melayat ke rumahnya, teman-teman."
Koran Pagi menurunkan kepala berita 'Perpustakaan Hidup Itu Telah Tiada'. Pada Akhir disebutkan, "Negeri ini telah kehilangan kolektor buku ulung dan tak ada tandingannya. Ia meninggalkan seorang istri, 4 anak, 12 cucu." Menurut berita itu, "koleksi buku Kolbuher sudah pantas dijadikan museum tersendiri dan dikelola oleh pemerintah dan swasta. Selain itu, Kolbuher pun pantas dianugerahi Bintang Mahaputra Kelas I karena sumbangannya bagi generasi muda. Banyak orang yang meraih gelar sarjana, megister, dan doktor di negeri ini yang pernah memanfaatkan perpustakaan kolbuher. Secara gratis lagi!"
Tabloid Kesohor memberitakan bahwa setelah polisi memeriksa perpustakaan Kolbuher, polisi sampai pada kesimpulan bahwa tiang penyangga keempat rak buku ternyata keropos akibat banjir bandang beberapa waktu lalu. Berita itu ditutup dengan kalimat, "Dengan demikian, sangkaan polisi bahwa istrinya dengan sengaja membunuh Kolbuher tidaklah terbukti."
Rumah Kolbuher memang terletak sekitar 50 meter dari pinggir sungai yang selalu menerima limpahan air dari Bogor-Puncak, yang hutannya banyak ditumbuhi beton dan pohon-pohonnya banyak ditebangi secara liar.
Jakarta, 4 September 2002
Sunday, September 15, 2002
Percakapan Patung-Patung
Cerpen: Indra Trenggono
BULAN sebesar semangka tersepuh perak, tergantung di langit kota, dini hari. Cahayanya yang lembut, tipis berselaput kabut, menerpa lima sosok patung pahlawan yang berdiri di atas Monumen Joang yang tak terawat dan menjadi sarang gelandangan. Cahaya bulan itu seperti memberi tenaga kepada mereka untuk bergerak-gerak, dari posisi mereka yang berdiri tegak. Mereka seperti mencuri kesempatan dari genggaman warga kota yang terlelap dirajam kantuk dalam ringkus selimut.
Lima patung yang terdiri dari tiga lelaki dan dua perempuan itu, menggoyang-goyangkan kaki, menggerakkan tangan, kemudian duduk dan bahkan ada yang tiduran. Mungkin, mereka sangat letih karena selama lebih dari empat puluh tahun berdiri di situ. Wajah mereka yang kaku, dengan lipatan-lipatan cor semen yang beku pun kerap bergerak-gerak seperti orang mengaduh, mengeluh, menjerit dan berteriak. Tentu, hanya telinga setajam kesunyian yang mampu mendengarnya.
"Dulu, ketika jasad kita terbujur di sini, kota ini sangat sunyi. Hanya beberapa lampu berpendar bagai belasan kunang-kunang yang membangunkan malam. Kini, puluhan bahkan ratusan lampu, bependar-pendar seterang siang. Negeri ini benar-benar megah," ujar patung lelaki yang dikenal dengan nama Wibagso sambil mengayun-ayunkan senapannya.
"Tapi lihatlah di sana, Bung Wibagso. Kumpulan gelandangan tumpang-tindih bagi jutaan cendol sedang makan bangkai anjing dengan lahap. Dan di sana, lihatlah deretan gubug-gubug reyot menyatu dengan gelandangan yang berjejal bagai benalu menempel di tembok gedung-gedung. Mulut mereka menganga menyemburkan abab bacin serupa aroma mayat, mengundang jutaan lalat terjebak di dalamnya. Ya, Tuhan, mereka mengunyah lalat-lalat itu..." desis patung lelaki bernama Durmo.
Ratri, patung perempuan yang dulu dikenal sebagai mata-mata kaum gerilyawan, menukas, "Itu biasa rekan Durmo. Dalam negeri yang gemerlap, selalu dirawat kemiskinan sebagai ilham bagi kemajuan. Kita mesti bangga, negeri ini sangat kaya. Lihatlah di sana deretan rumah mewah menyimpan jutaan keluarga bahagia. Ada mobil-mobil mewah, ada lapangan golf pribadi, bahkan ada pesawat terbang pribadi... Dan lihatlah di sana, orang-orang berdansa-dansi sampai pagi. Yaaa... ampun malah ada yang orgi..."
Patung Sidik, yang sejak tadi menyidik dunia sekitar dengan mata nanar melenguh bagai sapi di ruang jagal, "Ternyata mereka hanya sanggup mengurus perut dan kelamin mereka sendiri. Aku jadi menyesal, kenapa dulu ikut memerdekakan negeri ini."
"Aku pun jadi tidak lagi pede sebagai pahlawan," timpal Durmo, "Kita bediri di sini tak lebih dari hantu sawah. Ternyata mereka tak sungkan apalagi hormat kepada kita. Buktinya, mereka menggaruk apa saja."
"Kamu jangan terlalu sentimentil. Aku rasa mereka tetap hormat kepada kita. Buktinya, mereka membangunkan kita monumen yang megah," tukas Wibagso.
Tapi kenapa kita hanya diletakkan di sini, di tempat njepit ini. Mosok monumen pahlawan kok cuma dislempitkan," gugat patung perempuan bernama Cempluk, yang dulu dikenal sebagai pejuang dari dapur umum.
Angin bertiup mengabarkan hari sudah pagi. Gelandangan-gelandangan yang tidur melingkar di kaki monumen itu menggeliat. Mulut mereka menguap kompak. Aroma abab bacin yang membadai dari sela gigi-gigi kuning, menguasai udara sekitar. Tercium oleh para patung pahlawan. Sontak mereka serempak berdiri, dan masing-masing kembali pada tempatnya, sebelum keheningan pagi dirajam hiruk-pikuk kota, sebelum udara bersih pagi dicemari deru nafas kota yang keruh.
Dalam posisi asal, patung-patung pahlawan itu terus bergumam. Tapi hanya telinga setajam kesunyian yang mampu menangkapnya.
YU Seblak, pelacur senior yang dikenal sebagai danyang alias "penunggu" monumen itu, duduk takzim di kaki monumen. Tangannya di angkat di atas kepala. Tergenggam dupa yang mengepulkan asap. Kepulan asap itu menari-nari mengikuti gerak tangan Yu Seblak. Ke kanan, ke kiri, ke atas, dan ke bawah. Gerakan Yu Seblak diikuti lima-enam orang yang duduk di belakang perempuan berdandan menor itu. Yu Seblak bergumam meluncurkan kata-kata mantera.
"Aku mendengar ada banyak orang mendoakan kita. Mereka memberi kita sesaji. Ada bunga-bunga, ada jajan pasar, ada juga rokok klembak menyan," Mata Wibagso terus mengikuti upacara yang dipimpin Yu Seblak.
"Kurang ajar! Kita dianggap dhemit! Malah ada yang minta nomer buntut segala! Ini apa-apaan Wibagso!" teriak Durmo.
"Ssssttt. Tenanglah. Apa susahnya kita membikin mereka sedikit gembira. Anggap saja ini intermezzo dalam perjalanan kita menuju jagat keabadian," ujar Wibagso.
"Tapi kalau pahlawan sudah disuruh ngurusi togel itu kebangeten!" protes Cempluk.
"Hidup mereka gelap rekan Cempluk. Mereka hanya bisa mengadu kepada kita, karena yang hidup tak pernah mengurusi nasib mereka. Justru menghardik mereka...," tukas Ratri.
Yu Seblak terus mengucapkan doa dalam irama cepat, diikuti orang-orang di belakangnya. Selesai memimpin doa, Yu Seblak menerima berbagai keluhan para "pasiennya".
"Wah kalau pahlawan disuruh ngurusi garukan pelacur, ya enggak bisa. Punya permintaan itu mbok yang sopan gitu lho..."
"Habis, saya selalu kena garuk, Yu. Jadinya 'dagangan' saya sepi. Ehhh siapa tahu, para petugas ketertiban kota itu takut dengan Kanjeng Wibagso dan semua pahlawan di sini. Tolong ya... Yu..." ujar Ajeng, perempuan berparas malam itu, sambil menyerahkan amplop di genggaman Yu Seblak.
"Yaahhh akan saya usahaken. Semoga saja Kanjeng Wibagso dan rekan bisa mempertimbangken..."
Wibagso tersenyum. Sidik manggut-manggut. Durmo tampak tersinggung.
"Mereka ini payah. Garuk-menggaruk itu kan bukan urusan kita. Mestinya mereka mengadu ke anggota dewan..."
"Ah anggota dewan kan lebih senang kasak-kusuk untuk saling menjatuhkan...," ujar Sidik.
"Tampung saja keluhan itu," sahut Wibagso.
"Tapi urusan kita banyak, Bung! Kita masih harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan kita selama hidup. Jujur saja, waktu berjuang dulu, aku menembaki musuh tanpa ampun seperti aku membasmi tikus," mata Durmo menerawang jauh.
"Perang memungkinkan segalanya, Bung. Kita tidak mungkin bersikap lemah lembut terhadap musuh, yang mengincar nyawa kita. Kita membunuh bukan demi kepuasan melihat mayat-mayat mengerjat-ngerjat karena nyawanya oncat. Kita hanya mempertahankan hak yang harus digenggam," Wibagso mencoba menghibur Durmo.
"Kita yakin saja, malaikat penghitung pahala pasti mencatat seluruh kebaikan kita," Ratri menimpali.
Dari penjual rokok di seberang jalan, sayup-sayup terdengar warna berita dari radio: "Monumen Joang untuk mengenang lima pahlawan yang gugur dalam pertempuran Kota Baru melawan pasukan Belanda akan dipugar. Status mereka pun sedang diusulkan untuk ditingkatkan dari pahlawan kota telah menyiapkan anggaran sebesar tiga milyar." Lima patung itu mendengarkan berita dengan takzim. Wibagso meloncat girang. Ratri menari-nari. Cempluk hanya diam terpekur. Durmo masih dibalut perasaan gelisah. Sidik berdiri mematung, meskipun sudah sangat lama jadi patung.
"Kenapa kalian hanya diam? Berita itu mesti kita rayakan!" ujar Wibagso.
"Untuk apa? Aku sendiri tak terlalu bangga jadi pahlawan. Ternyata negeri yang kumerdekakan ini, akhirnya hanya menjadi meja prasmanan besar bagi beberapa gelintir orang. Sedang jutaan mulut yang lain, hanya menjadi tong sampah yang mengunyah sisa-sisa pesta," ujar Sidik.
"Itu bukan urusan kita, Bung. Tugas kita sudah selesai. Kita tinggal bersyukur melihat anak cucu hidup bahagia," sergah Wibagso.
"Tapi jutaan orang-orang bernasib gelap itu terus menjerit. Jeritan mereka memukul-mukul rongga batinku."
"Ah, sudah jadi arwah kok masih perasa."
"Tapi perasaanku masih hidup!"
"Untuk apa memikirkan semua itu. Kalau masih ada yang kurang beruntung, itu biasa. Hidup ini perlombaan. Ada pemenang, ada juga pecundang!"
"Jangan-jangan kamu ini kurang ikhlas berjuang, Bung Sidik," timpal Ratri.
"Kurang ikhlas bagaimana? Kakiku yang pengkor ini telah kuberikan kepada hidup. Bahkan jantungku telah menjadi sarang peluru-peluru musuh. Mereka memberondongku tanpa ampun hingga tubuhku luluh latak bagai dendeng."
"Ooo kalau soal itu, penderitaanku lebih dahsyat. Kalian tahu, ketika aku merebut kota yang dikuasai musuh, puluhan peluru merajamku. Tapi aku puas, karena berkat keberanianku, nyali kawan-kawan kita terpompa dan akhirnya berhasil memenangkan pertempuran. Ini semua berkat aku!"
"Enak saja kau bilang aku," sergah Durmo. "Dalam pertempuran merebut Kota Baru itu, aku dan Sidik yang berdiri paling depan. Menghadapi musuh satu lawan satu. Kamu sendiri, lari terbirit-birit ke hutan dan ke gunung. Dan kamu, tanpa malu, menyebut sedang bergerilya!"
"Tapi akulah yang punya ide untuk menyerang. Aku juga yang memimpin serangan fajar itu!"
"Siapa yang mengangkatmu jadi pemimpin, Wibagso? Siapa? Waktu itu, kita tak lebih dari pemuda yang hanya bermodal nyali. Tak ada jabatan. Tak ada hierarki. Apalagi pimpinan produksi perang!" hardik Durmo.
"Tapi perang tidak hanya pakai otot, Bung! Perang juga pakai otak. Pakai strategi!" Napas Wibagso naik-turun.
"Tapi strategi tanpa nyali bagai kepala tanpa kaki!" kilah Durmo.
"Bung Wibagso," tukar Sidik, "Kenapa kamu sibuk menghitung-hitung jasa yang sesungguhnya hampa?!"
Bulan mengerjap, seperti tersentak. Wajah Wibagso memerah.
"Sidik! Belajarlah kamu menghargai jasa orang lain. Jangan anggap kamu paling pahlawan di antara para pahlawan!"
"Kapan aku membangga-banggakan diri? Kapan? Kamu ingat, waktu berjuang dulu, aku justru menghilang ketika ada Panglima Besar mengunjungi kawan-kawan kita yang berhasil menggempur musuh. Kalau aku mau, bisa saja aku mencatatkan diri menjadi prajurit resmi. Dan aku yakin, ketika negeri ini merdeka, aku mampu jadi petinggi yang bisa mborongi proyek. Tapi, puji Tuhan, maut keburu menjemputku," ujar Sidik.
"Begitu juga aku," sergah Durmo, "Aku berpesan kepada anak-anakku, kepada seluruh keturunanku, untuk tidak mengungkit-ungkit jasa kepahlawananku, demi uang tunjangan yang tak seberapa banyak. Itu pun masih banyak potongannya!"
"Munafik. Kalian ini munafik!" bentak Wibagso.
Bulan kembali mengerjap. Angin terasa mati.
Napas kota kembali berhembus. Jantung kota kembali berdegup. Gelandangan, pelacur dan copet kembali menggeliat. Mulut mereka kompak menguap menyemburkan abab bacin penuh bakteri.
"Aku yakin, kalau monumen ini jadi dipugar, kita akan kehilangan tempat," ujar Kalur, pencopet bertubuh tinggi kurus itu.
"Kita harus turun ke jalan. Kita kerahkan semua gelandangan di kota ini. Kita demo besar-besaran!" timpal Karep yang dijuluki "gelandangan intelektual" karena gemar mengutip kata-kata gagah.
Percakapan mereka dihentikan suara radio milik Yu Seblak yang menyiarkan warta berita: "Drs Ginsir, Kepala Kotapraja yang menggantikan RM Picis, membatalkan rencana pemugaran Monumen Joang. Menurut Drs Gingsir, proyek itu mubazir. Bertenangan dengan azas kemanfaatan bagi publik. Apalagi pengajuan perubahan status menjadi pahlawan nasional, ditolak Tim Pakar Sejarah Nasional. Dana sebesar tiga milyar dialihkan untuk memberikan bantuan pangan kepada masyarakat prasejahtera."
Gelandangan-gelandangan sontak bersorak. Mereka menari. Beberapa orang menenggak minuman oplosan alkohol. Bahkan ada yang mencampurinya dengan spritus. Jantung mereka berdetak cepat. Gerakan tubuh mereka semakin rancak, semakin panas.
Bulan pucat di angkasa berselimut kabut. Kota kembali tidur. Tapi di sebuah gedung pemerintahan kotapraja, tampak lampu masih menyala.
"Saya setuju saja, jika Den Bei Taipan mau bikin mall di sini," ujar Drs Ginsir sambil minum anggur.
"Terima kasih... terima kasih. Bapak Ginsir ternyata welcome. Eeee soal pembagian keuntungan, itu dinegosiasikan. Biasanya, 30:60." Den Bei menenggak anggur merah.
"Tapi tunggu dulu, Den Bei. Saya mesti mengusulkan masalah ini pada Dewan. Dan biasanya itu agak lama. Maklum..."
"Eeee bagaimana kalau 35:65. Tidak ada konglomerat gila macam saya."
"Tapi masih banyak konglomerat lain yang lebih gila, Den Bei..."
"Bagaimana kalau 40:60. Ini peningkatan yang sangat progresif."
"Well...well...well... Saya kira Den Bei bisa bikin mall tidak hanya satu. Tanah di sini masih sangat luas."
"Bapak ini ternyata cerdas. Setidaknya, mendadak cerdas."
Keduanya tertawa berderai.
"Den Bei tinggal pilih. Alun-alun, bekas benteng Rotenberg atau di Monumen Joang."
"Semuanya akan saya ambil."
"Terima kasih. Sulaplah kota kami ini jadi metropolitan."
Keduanya berjabat tangan.
***
"PENGKHIANAT! Culas! Licik dan sombong! Penguasa demi penguasa datang, ternyata hanya bertukar rupa. Mereka tetap saja menikamkan pengkhianatan demi pengkhianatan di tubuh kita!" Wibagso menggebrak, hingga tubuh monumen bergetar.
"Mereka menganggap kita sekadar bongkahan batu yang beku. Mereka hendak menggerus kita menjadi butiran-butiran masa silam yang kelam!" hardik Ratri.
Sidik, Durmo, dan Cempluk tersenyum.
"Kenapa kalian hanya diam? Kita ini hendak diluluhlantakkan. Lihatlah buldoser-buldoser itu datang. Berderap-derap. Kita harus bertahan. Bertahan!" teriak Wibagso.
Di bawah monumen, Yu Seblak memimpin penghadangan penggusuran. "Kita harus bertahan! Kita lawan buldoser-buldoser itu! Ajeng, Karep, Kalur, di mana kalian?" teriak Yu Seblak.
"Kami di sini. Di belakangmu!" jawab mereka kompak.
"Kita lawan mereka. Kita pertahankan liang-liang kita. Lebih baik mati daripada selamanya dikutuk jadi kecoa!"
Deru buldoser-buldoser mengepung monumen. Beberapa orang berseragam memberi aba-aba. Buldoser-buldoser terus merangsek.
"Lihatlah, mereka yang hanya gelandangan saja membela kita. Mestinya kalian malu!" hardik Wibagso.
"Wibagso! Kalau kami akhirnya melawan mereka, itu bukan untuk membela kepongahan kita sebagai pahlawan. Tapi membela mereka yang juga punya hak hidup!" teriak Sidik.
"Aku tak butuh penjelasan. Tapi butuh kejelasan sikap kalian untuk melawan mereka Ratri, meloncatlah kamu. Dan masuklah ke ruang kemudi. Cekik leher sopir-sopir itu. Cempluk, tahan moncong buldoser itu. Ganjal dengan tubuhmu. Sidik, dan kamu Durmo hancurkan mesin buldoser-buldoser itu. Cepat!" Wibagso mengatur perlawanan seperti ketika menghadapi tentara-tentara penjajah.
Buldoser terus merangsek. Meluluhlantakkan badan monumen. Menerjang orang-orang yang mencoba bertahan. Kalur, Karep, Ajeng, dan orang-orang lainnya lari lintang pukang.
"Kalian benar-benar pengecut!" teriak Yu Seblak.
"Sia-sia melawan mereka! Mereka ternyata buaanyaakkk sekali!" teriak Kalur.
"Kita menyingkir saja. Pahlawan saja mereka gilas, apalagi kecoa makam kita! Menyingkir... Menyingkir saja!!!" Karep mencoba menarik Yu Seblak yang berdiri beberapa sentimeter dari moncong-moncong buldoser. Tapi Yu Seblak tetap bertahan, sambil terus mengibar-ngibarkan kain dan kutangnya. Tak ada yang menahan Yu Seblak untuk telanjang. Buldoser-buldoser itu dengan rakus dan bergairah menggilas tubuh Yu Seblak. Tubuh kuning langsat itu bagaikan buah semangka yang dilumat blender.
Wibagso tersentak. Ratri menjerit histeris. Durmo dan Sidik berteriak-teriak penuh amarah. Mereka mencoba menghadang buldoser-buldoser itu. Tapi mesin penghancur itu terlalu kuat buat dilawan. Patung-patung itu dilabrak dan dihajar hingga lumat.
Bulan di angkasa mengerjap, Angin mati.
"Kalian telah membunuh kami untuk yang kedua kalinya..." ujar Wibagso lirih. Ucapan itu terus bergema, hingga mall itu selesai dibangun, dan diresmikan Kepala Kotapraja, Drs Gingsir. Hingga kini, suara-suara itu terus mengalun. Tapi hanya telinga setajam kesunyian yang mampu mendengar gugatan itu.*
Jogja, awal Juli 2002 (Terima kasih untuk Joko DH dan Menthol Hartoyo)
BULAN sebesar semangka tersepuh perak, tergantung di langit kota, dini hari. Cahayanya yang lembut, tipis berselaput kabut, menerpa lima sosok patung pahlawan yang berdiri di atas Monumen Joang yang tak terawat dan menjadi sarang gelandangan. Cahaya bulan itu seperti memberi tenaga kepada mereka untuk bergerak-gerak, dari posisi mereka yang berdiri tegak. Mereka seperti mencuri kesempatan dari genggaman warga kota yang terlelap dirajam kantuk dalam ringkus selimut.
Lima patung yang terdiri dari tiga lelaki dan dua perempuan itu, menggoyang-goyangkan kaki, menggerakkan tangan, kemudian duduk dan bahkan ada yang tiduran. Mungkin, mereka sangat letih karena selama lebih dari empat puluh tahun berdiri di situ. Wajah mereka yang kaku, dengan lipatan-lipatan cor semen yang beku pun kerap bergerak-gerak seperti orang mengaduh, mengeluh, menjerit dan berteriak. Tentu, hanya telinga setajam kesunyian yang mampu mendengarnya.
"Dulu, ketika jasad kita terbujur di sini, kota ini sangat sunyi. Hanya beberapa lampu berpendar bagai belasan kunang-kunang yang membangunkan malam. Kini, puluhan bahkan ratusan lampu, bependar-pendar seterang siang. Negeri ini benar-benar megah," ujar patung lelaki yang dikenal dengan nama Wibagso sambil mengayun-ayunkan senapannya.
"Tapi lihatlah di sana, Bung Wibagso. Kumpulan gelandangan tumpang-tindih bagi jutaan cendol sedang makan bangkai anjing dengan lahap. Dan di sana, lihatlah deretan gubug-gubug reyot menyatu dengan gelandangan yang berjejal bagai benalu menempel di tembok gedung-gedung. Mulut mereka menganga menyemburkan abab bacin serupa aroma mayat, mengundang jutaan lalat terjebak di dalamnya. Ya, Tuhan, mereka mengunyah lalat-lalat itu..." desis patung lelaki bernama Durmo.
Ratri, patung perempuan yang dulu dikenal sebagai mata-mata kaum gerilyawan, menukas, "Itu biasa rekan Durmo. Dalam negeri yang gemerlap, selalu dirawat kemiskinan sebagai ilham bagi kemajuan. Kita mesti bangga, negeri ini sangat kaya. Lihatlah di sana deretan rumah mewah menyimpan jutaan keluarga bahagia. Ada mobil-mobil mewah, ada lapangan golf pribadi, bahkan ada pesawat terbang pribadi... Dan lihatlah di sana, orang-orang berdansa-dansi sampai pagi. Yaaa... ampun malah ada yang orgi..."
Patung Sidik, yang sejak tadi menyidik dunia sekitar dengan mata nanar melenguh bagai sapi di ruang jagal, "Ternyata mereka hanya sanggup mengurus perut dan kelamin mereka sendiri. Aku jadi menyesal, kenapa dulu ikut memerdekakan negeri ini."
"Aku pun jadi tidak lagi pede sebagai pahlawan," timpal Durmo, "Kita bediri di sini tak lebih dari hantu sawah. Ternyata mereka tak sungkan apalagi hormat kepada kita. Buktinya, mereka menggaruk apa saja."
"Kamu jangan terlalu sentimentil. Aku rasa mereka tetap hormat kepada kita. Buktinya, mereka membangunkan kita monumen yang megah," tukas Wibagso.
Tapi kenapa kita hanya diletakkan di sini, di tempat njepit ini. Mosok monumen pahlawan kok cuma dislempitkan," gugat patung perempuan bernama Cempluk, yang dulu dikenal sebagai pejuang dari dapur umum.
Angin bertiup mengabarkan hari sudah pagi. Gelandangan-gelandangan yang tidur melingkar di kaki monumen itu menggeliat. Mulut mereka menguap kompak. Aroma abab bacin yang membadai dari sela gigi-gigi kuning, menguasai udara sekitar. Tercium oleh para patung pahlawan. Sontak mereka serempak berdiri, dan masing-masing kembali pada tempatnya, sebelum keheningan pagi dirajam hiruk-pikuk kota, sebelum udara bersih pagi dicemari deru nafas kota yang keruh.
Dalam posisi asal, patung-patung pahlawan itu terus bergumam. Tapi hanya telinga setajam kesunyian yang mampu menangkapnya.
YU Seblak, pelacur senior yang dikenal sebagai danyang alias "penunggu" monumen itu, duduk takzim di kaki monumen. Tangannya di angkat di atas kepala. Tergenggam dupa yang mengepulkan asap. Kepulan asap itu menari-nari mengikuti gerak tangan Yu Seblak. Ke kanan, ke kiri, ke atas, dan ke bawah. Gerakan Yu Seblak diikuti lima-enam orang yang duduk di belakang perempuan berdandan menor itu. Yu Seblak bergumam meluncurkan kata-kata mantera.
"Aku mendengar ada banyak orang mendoakan kita. Mereka memberi kita sesaji. Ada bunga-bunga, ada jajan pasar, ada juga rokok klembak menyan," Mata Wibagso terus mengikuti upacara yang dipimpin Yu Seblak.
"Kurang ajar! Kita dianggap dhemit! Malah ada yang minta nomer buntut segala! Ini apa-apaan Wibagso!" teriak Durmo.
"Ssssttt. Tenanglah. Apa susahnya kita membikin mereka sedikit gembira. Anggap saja ini intermezzo dalam perjalanan kita menuju jagat keabadian," ujar Wibagso.
"Tapi kalau pahlawan sudah disuruh ngurusi togel itu kebangeten!" protes Cempluk.
"Hidup mereka gelap rekan Cempluk. Mereka hanya bisa mengadu kepada kita, karena yang hidup tak pernah mengurusi nasib mereka. Justru menghardik mereka...," tukas Ratri.
Yu Seblak terus mengucapkan doa dalam irama cepat, diikuti orang-orang di belakangnya. Selesai memimpin doa, Yu Seblak menerima berbagai keluhan para "pasiennya".
"Wah kalau pahlawan disuruh ngurusi garukan pelacur, ya enggak bisa. Punya permintaan itu mbok yang sopan gitu lho..."
"Habis, saya selalu kena garuk, Yu. Jadinya 'dagangan' saya sepi. Ehhh siapa tahu, para petugas ketertiban kota itu takut dengan Kanjeng Wibagso dan semua pahlawan di sini. Tolong ya... Yu..." ujar Ajeng, perempuan berparas malam itu, sambil menyerahkan amplop di genggaman Yu Seblak.
"Yaahhh akan saya usahaken. Semoga saja Kanjeng Wibagso dan rekan bisa mempertimbangken..."
Wibagso tersenyum. Sidik manggut-manggut. Durmo tampak tersinggung.
"Mereka ini payah. Garuk-menggaruk itu kan bukan urusan kita. Mestinya mereka mengadu ke anggota dewan..."
"Ah anggota dewan kan lebih senang kasak-kusuk untuk saling menjatuhkan...," ujar Sidik.
"Tampung saja keluhan itu," sahut Wibagso.
"Tapi urusan kita banyak, Bung! Kita masih harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan kita selama hidup. Jujur saja, waktu berjuang dulu, aku menembaki musuh tanpa ampun seperti aku membasmi tikus," mata Durmo menerawang jauh.
"Perang memungkinkan segalanya, Bung. Kita tidak mungkin bersikap lemah lembut terhadap musuh, yang mengincar nyawa kita. Kita membunuh bukan demi kepuasan melihat mayat-mayat mengerjat-ngerjat karena nyawanya oncat. Kita hanya mempertahankan hak yang harus digenggam," Wibagso mencoba menghibur Durmo.
"Kita yakin saja, malaikat penghitung pahala pasti mencatat seluruh kebaikan kita," Ratri menimpali.
Dari penjual rokok di seberang jalan, sayup-sayup terdengar warna berita dari radio: "Monumen Joang untuk mengenang lima pahlawan yang gugur dalam pertempuran Kota Baru melawan pasukan Belanda akan dipugar. Status mereka pun sedang diusulkan untuk ditingkatkan dari pahlawan kota telah menyiapkan anggaran sebesar tiga milyar." Lima patung itu mendengarkan berita dengan takzim. Wibagso meloncat girang. Ratri menari-nari. Cempluk hanya diam terpekur. Durmo masih dibalut perasaan gelisah. Sidik berdiri mematung, meskipun sudah sangat lama jadi patung.
"Kenapa kalian hanya diam? Berita itu mesti kita rayakan!" ujar Wibagso.
"Untuk apa? Aku sendiri tak terlalu bangga jadi pahlawan. Ternyata negeri yang kumerdekakan ini, akhirnya hanya menjadi meja prasmanan besar bagi beberapa gelintir orang. Sedang jutaan mulut yang lain, hanya menjadi tong sampah yang mengunyah sisa-sisa pesta," ujar Sidik.
"Itu bukan urusan kita, Bung. Tugas kita sudah selesai. Kita tinggal bersyukur melihat anak cucu hidup bahagia," sergah Wibagso.
"Tapi jutaan orang-orang bernasib gelap itu terus menjerit. Jeritan mereka memukul-mukul rongga batinku."
"Ah, sudah jadi arwah kok masih perasa."
"Tapi perasaanku masih hidup!"
"Untuk apa memikirkan semua itu. Kalau masih ada yang kurang beruntung, itu biasa. Hidup ini perlombaan. Ada pemenang, ada juga pecundang!"
"Jangan-jangan kamu ini kurang ikhlas berjuang, Bung Sidik," timpal Ratri.
"Kurang ikhlas bagaimana? Kakiku yang pengkor ini telah kuberikan kepada hidup. Bahkan jantungku telah menjadi sarang peluru-peluru musuh. Mereka memberondongku tanpa ampun hingga tubuhku luluh latak bagai dendeng."
"Ooo kalau soal itu, penderitaanku lebih dahsyat. Kalian tahu, ketika aku merebut kota yang dikuasai musuh, puluhan peluru merajamku. Tapi aku puas, karena berkat keberanianku, nyali kawan-kawan kita terpompa dan akhirnya berhasil memenangkan pertempuran. Ini semua berkat aku!"
"Enak saja kau bilang aku," sergah Durmo. "Dalam pertempuran merebut Kota Baru itu, aku dan Sidik yang berdiri paling depan. Menghadapi musuh satu lawan satu. Kamu sendiri, lari terbirit-birit ke hutan dan ke gunung. Dan kamu, tanpa malu, menyebut sedang bergerilya!"
"Tapi akulah yang punya ide untuk menyerang. Aku juga yang memimpin serangan fajar itu!"
"Siapa yang mengangkatmu jadi pemimpin, Wibagso? Siapa? Waktu itu, kita tak lebih dari pemuda yang hanya bermodal nyali. Tak ada jabatan. Tak ada hierarki. Apalagi pimpinan produksi perang!" hardik Durmo.
"Tapi perang tidak hanya pakai otot, Bung! Perang juga pakai otak. Pakai strategi!" Napas Wibagso naik-turun.
"Tapi strategi tanpa nyali bagai kepala tanpa kaki!" kilah Durmo.
"Bung Wibagso," tukar Sidik, "Kenapa kamu sibuk menghitung-hitung jasa yang sesungguhnya hampa?!"
Bulan mengerjap, seperti tersentak. Wajah Wibagso memerah.
"Sidik! Belajarlah kamu menghargai jasa orang lain. Jangan anggap kamu paling pahlawan di antara para pahlawan!"
"Kapan aku membangga-banggakan diri? Kapan? Kamu ingat, waktu berjuang dulu, aku justru menghilang ketika ada Panglima Besar mengunjungi kawan-kawan kita yang berhasil menggempur musuh. Kalau aku mau, bisa saja aku mencatatkan diri menjadi prajurit resmi. Dan aku yakin, ketika negeri ini merdeka, aku mampu jadi petinggi yang bisa mborongi proyek. Tapi, puji Tuhan, maut keburu menjemputku," ujar Sidik.
"Begitu juga aku," sergah Durmo, "Aku berpesan kepada anak-anakku, kepada seluruh keturunanku, untuk tidak mengungkit-ungkit jasa kepahlawananku, demi uang tunjangan yang tak seberapa banyak. Itu pun masih banyak potongannya!"
"Munafik. Kalian ini munafik!" bentak Wibagso.
Bulan kembali mengerjap. Angin terasa mati.
Napas kota kembali berhembus. Jantung kota kembali berdegup. Gelandangan, pelacur dan copet kembali menggeliat. Mulut mereka kompak menguap menyemburkan abab bacin penuh bakteri.
"Aku yakin, kalau monumen ini jadi dipugar, kita akan kehilangan tempat," ujar Kalur, pencopet bertubuh tinggi kurus itu.
"Kita harus turun ke jalan. Kita kerahkan semua gelandangan di kota ini. Kita demo besar-besaran!" timpal Karep yang dijuluki "gelandangan intelektual" karena gemar mengutip kata-kata gagah.
Percakapan mereka dihentikan suara radio milik Yu Seblak yang menyiarkan warta berita: "Drs Ginsir, Kepala Kotapraja yang menggantikan RM Picis, membatalkan rencana pemugaran Monumen Joang. Menurut Drs Gingsir, proyek itu mubazir. Bertenangan dengan azas kemanfaatan bagi publik. Apalagi pengajuan perubahan status menjadi pahlawan nasional, ditolak Tim Pakar Sejarah Nasional. Dana sebesar tiga milyar dialihkan untuk memberikan bantuan pangan kepada masyarakat prasejahtera."
Gelandangan-gelandangan sontak bersorak. Mereka menari. Beberapa orang menenggak minuman oplosan alkohol. Bahkan ada yang mencampurinya dengan spritus. Jantung mereka berdetak cepat. Gerakan tubuh mereka semakin rancak, semakin panas.
Bulan pucat di angkasa berselimut kabut. Kota kembali tidur. Tapi di sebuah gedung pemerintahan kotapraja, tampak lampu masih menyala.
"Saya setuju saja, jika Den Bei Taipan mau bikin mall di sini," ujar Drs Ginsir sambil minum anggur.
"Terima kasih... terima kasih. Bapak Ginsir ternyata welcome. Eeee soal pembagian keuntungan, itu dinegosiasikan. Biasanya, 30:60." Den Bei menenggak anggur merah.
"Tapi tunggu dulu, Den Bei. Saya mesti mengusulkan masalah ini pada Dewan. Dan biasanya itu agak lama. Maklum..."
"Eeee bagaimana kalau 35:65. Tidak ada konglomerat gila macam saya."
"Tapi masih banyak konglomerat lain yang lebih gila, Den Bei..."
"Bagaimana kalau 40:60. Ini peningkatan yang sangat progresif."
"Well...well...well... Saya kira Den Bei bisa bikin mall tidak hanya satu. Tanah di sini masih sangat luas."
"Bapak ini ternyata cerdas. Setidaknya, mendadak cerdas."
Keduanya tertawa berderai.
"Den Bei tinggal pilih. Alun-alun, bekas benteng Rotenberg atau di Monumen Joang."
"Semuanya akan saya ambil."
"Terima kasih. Sulaplah kota kami ini jadi metropolitan."
Keduanya berjabat tangan.
***
"PENGKHIANAT! Culas! Licik dan sombong! Penguasa demi penguasa datang, ternyata hanya bertukar rupa. Mereka tetap saja menikamkan pengkhianatan demi pengkhianatan di tubuh kita!" Wibagso menggebrak, hingga tubuh monumen bergetar.
"Mereka menganggap kita sekadar bongkahan batu yang beku. Mereka hendak menggerus kita menjadi butiran-butiran masa silam yang kelam!" hardik Ratri.
Sidik, Durmo, dan Cempluk tersenyum.
"Kenapa kalian hanya diam? Kita ini hendak diluluhlantakkan. Lihatlah buldoser-buldoser itu datang. Berderap-derap. Kita harus bertahan. Bertahan!" teriak Wibagso.
Di bawah monumen, Yu Seblak memimpin penghadangan penggusuran. "Kita harus bertahan! Kita lawan buldoser-buldoser itu! Ajeng, Karep, Kalur, di mana kalian?" teriak Yu Seblak.
"Kami di sini. Di belakangmu!" jawab mereka kompak.
"Kita lawan mereka. Kita pertahankan liang-liang kita. Lebih baik mati daripada selamanya dikutuk jadi kecoa!"
Deru buldoser-buldoser mengepung monumen. Beberapa orang berseragam memberi aba-aba. Buldoser-buldoser terus merangsek.
"Lihatlah, mereka yang hanya gelandangan saja membela kita. Mestinya kalian malu!" hardik Wibagso.
"Wibagso! Kalau kami akhirnya melawan mereka, itu bukan untuk membela kepongahan kita sebagai pahlawan. Tapi membela mereka yang juga punya hak hidup!" teriak Sidik.
"Aku tak butuh penjelasan. Tapi butuh kejelasan sikap kalian untuk melawan mereka Ratri, meloncatlah kamu. Dan masuklah ke ruang kemudi. Cekik leher sopir-sopir itu. Cempluk, tahan moncong buldoser itu. Ganjal dengan tubuhmu. Sidik, dan kamu Durmo hancurkan mesin buldoser-buldoser itu. Cepat!" Wibagso mengatur perlawanan seperti ketika menghadapi tentara-tentara penjajah.
Buldoser terus merangsek. Meluluhlantakkan badan monumen. Menerjang orang-orang yang mencoba bertahan. Kalur, Karep, Ajeng, dan orang-orang lainnya lari lintang pukang.
"Kalian benar-benar pengecut!" teriak Yu Seblak.
"Sia-sia melawan mereka! Mereka ternyata buaanyaakkk sekali!" teriak Kalur.
"Kita menyingkir saja. Pahlawan saja mereka gilas, apalagi kecoa makam kita! Menyingkir... Menyingkir saja!!!" Karep mencoba menarik Yu Seblak yang berdiri beberapa sentimeter dari moncong-moncong buldoser. Tapi Yu Seblak tetap bertahan, sambil terus mengibar-ngibarkan kain dan kutangnya. Tak ada yang menahan Yu Seblak untuk telanjang. Buldoser-buldoser itu dengan rakus dan bergairah menggilas tubuh Yu Seblak. Tubuh kuning langsat itu bagaikan buah semangka yang dilumat blender.
Wibagso tersentak. Ratri menjerit histeris. Durmo dan Sidik berteriak-teriak penuh amarah. Mereka mencoba menghadang buldoser-buldoser itu. Tapi mesin penghancur itu terlalu kuat buat dilawan. Patung-patung itu dilabrak dan dihajar hingga lumat.
Bulan di angkasa mengerjap, Angin mati.
"Kalian telah membunuh kami untuk yang kedua kalinya..." ujar Wibagso lirih. Ucapan itu terus bergema, hingga mall itu selesai dibangun, dan diresmikan Kepala Kotapraja, Drs Gingsir. Hingga kini, suara-suara itu terus mengalun. Tapi hanya telinga setajam kesunyian yang mampu mendengar gugatan itu.*
Jogja, awal Juli 2002 (Terima kasih untuk Joko DH dan Menthol Hartoyo)
Post a Comment