BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi
manusia.Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya
pribadi manusia menurut ukuran normatif.
Menyadari akan hal tersebut,
pemerintah sangat serius menangani bidang pendidikan, sebab dengan
sistem pendidikan yang baik diharapkan muncul generasi penerus bangsa
yang berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Reformasi pendidikan merupakan respon terhadap
perkembangan tuntutan global sebagai suatu upaya untuk mengadaptasikan
sistem pendidikan yang mampu mengembangkan sumber daya manusia untuk
memenuhi tuntutan zaman yang sedang berkembang. Melalui reformasi
pendidikan, pendidikan harus berwawasan masa depan yang memberikan
jaminan bagi perwujudan hak-hak azasi manusia untuk mengembangkan
seluruh potensi dan prestasinya secara optimal guna kesejahteraan hidup
di masa depan.
Guru adalah salah satu unsur manusia dalam proses pendidikan. Dalam
proses pendidikan di sekolah, guru memegang tugas ganda yaitu sebagai
pengajar dan pendidik. Sebagai pengajar guru bertugas menuangkan
sejumlah bahan pelajaran ke dalam otak anak didik, sedangkan sebagai
pendidik guru bertugas membimbing dan membina anak didik agar menjadi
manusia susila yang cakap, aktif, kreatif, dan mandiri.Djamarah
berpendapat bahwa baik mengajar maupun mendidik merupakan tugas dan
tanggung jawab guru sebagai tenaga profesional agar menjadi manusia
susila yang cakap, aktif, kreatif, dan mandiri.Djamarah berpendapat
bahwa baik mengajar maupun mendidik merupakan tugas dan tanggung jawab
guru sebagai tenaga profesional.Oleh sebab itu, tugas yang berat dari
seorang guru ini pada dasarnya hanya dapat dilaksanakan oleh guru yang
memiliki kompetensi profesional yang tinggi.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas permasalah ini dapat dirumuskan menjadi:
- Apa yang dimaksud dengan Sifat Hakikat Manusia?
- Bagaimanakah Wujud Sifat Hakikat Manusia?
- Bagaimanakah Dimensi-Dimensi Hakikat Manusia Serta Potensi, Keunikan dan Dinamikanya?
- Bagaimanakah Bentuk Tanggung Jawab Pendidikan Terhadap Pengembangan Manusia?
1.3 Tujuan
Setelah diuraikan dalam latar belakang masalah dan rumusan masalah
dapatlah diketahui dari judul ”Manusia dan Pendidikan”ke dalam empat
komponen, yaitu:
- Mengetahui Pengertian dari Sifat Hakikat Manusia
- Mengetahui Wujud dari Sifat Hakikat Manusia
- Mengetahui Dimensi-Dimensi yang terkandung dalam Hakikat Manusia serta Potensi, Keunikan dan Dinamikanya
- Mengetahui Bentuk dan Tanggung Jawab Pendidikan terhadap Pengembangan Manusia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1Sifat Hakikat Manusia
Manusia adalah makhluk termulia diantara
makluk tuhan yang lain. Kemuliaannya terletak pada aspek fisik yang
sudah ditegaskan oleh Allah bahwa manusia diciptakan dengan bentuk yang
terbaik.[1]
Pandangan Islam terhadap manusia antara lain adalah manusia adalah
makhluk ciptaan Allah yang paling mulia, manusia memiliki kemampuan
untuk berkomunikasi, kemampuan belajar, dan kemampuan untuk
mengembangkan diri.[2]
Sifat hakikat manusia menjadi bidang kajian filsafat, khususnya
filsafat antropologi.Hal ini menjadi keharusan oleh karena kependidikan
bukanlah sekedar soal praktek melainkan praktek yang berlandasan dan bertujuan.Sedangkan
landasan dan tujuan pendidikan itu sendiri sifatnya filosofis
normatif.Bersifat filosofis karena untuk mendapatkan landasan yang kukuh
diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar, sistematis, dan
universal tentang ciri hakiki manusia.Bersifat normatif karena
pendidikan mempunyai tugas untuk menumbuhkembangkan sifat hakikat
manusia tersebut sebagai sesuatu yang bernilai luhur, dan dan hal itu
menjadi keharusan.[3]
2.1.1.Pengertian Sifat Hakikat Manusia
Sifat hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang
secara prinsipiil (jadi bukan hanya gradual) membedakan manusia dari
hewan.Meskipun antara manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama
jika dilihat dari segi biologisnya.
Bentuknya (misalnya orang hutan), bertulang belakang seperti manusia,
berjalan tegak dengan menggunakan kedua kakinya, melahirkan dan
menyusui anaknya, pemakan segala, dan adanya persamaan metabolisme
dengan manusia. Bahkan beberapa filosof seperti Socrates menamakan
manusia itu Zoon Politicon (hewan yang bermasyarakat), Max
Scheller menggambarkan manusia sebagai Das Kranke Tier (hewan yang sakit
yang selalu gelisah dan bermasalah)
Kenyataan dan pernyataan tersebut dapat menimbulkan kesan yang
keliru, mengira bahwa hewan dan manusia itu hanya berbeda secara
gradual, yaitu suatu perbedaan yang dengan melalui rekayasa dapat dibuat
menjadi es batu.Seolah-olah dengan kemahiran rekayasa pendidikan orang
hutan dapat dijadikan manusia.Upaya manusia untuk mendapatkan keterangan
bahwa hewan tidak identik dengan manusia telah ditemukan.Charles Darwin
(dengan teori evolusinya) telah berjuang untuk menemukan bahwa manusia
berasal dari primat atau kera, tetapi ternyata gagal. Ada misteri yang
dianggap menjembatani proses perubahan dari primat ke manusia yang tidak
sanggup diungkapkan yang disebut The Missing Link, yaitu suatu mata rantai yang putus. Ada suatu proses antara yang tak dapat dijelaskan.
2.1.2.Wujud Sifat Hakikat Manusia
Wujud sifat hakikat manusia yang tidak dimiliki hewan yang
dikemukakan oleh paham eksistensialisme, dengan maksud menjadi masukan
dalam membenahi konsep pendidikan,yaitu:
a.Kemampuan Menyadari Diri
Kaum Rasionalis menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada
adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia.Berkat adanya
kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia, maka manusia
menyadari bahwa dirinya memiliki ciri yang khas atau karakteristik diri.
Hal ini menyebabkan manusia dapat membedakan dirinya dengan aku-aku
yang lain di sekitarnya. Bahkan bukan hanya membedakan, lebih dari itu
manusia dapat membuat jarak (distansi) dengan lingkungannya, baik yang
berupa pribadi maupun non pribadi/benda. Orang lain merupakan
pribadi-pribadi di sekitar, adapun pohon, batu, cuaca dan sebagainya
merupakan lingkungan non pribadi.
Kemampuan membuat jarak dengan lingkungannya berarah ganda, yaitu arah keluar dan ke dalam.
Dengan arah keluar, aku memandang dan menjadikan lingkungan sebagai objek, selanjutnya aku memanipulsi ke dalam lingkungan untuk memenuhi kebuyuhannya.Puncak aktivitas yang mengarah keluar ini dapat dipandang sebagai gejala egoisme.Dengan arah ke dalam, aku memberi status kepada lingkungan (dalam hal ini kamu, dia, mereka) sebagai subjek yang berhadapan dengan aku sebagai objek, yang isinya adalah pengabdian, pengorbanan, tenggang rasa, dan sebagainya. Dengan kata lain aku keluar dari dirinya dan menempatkan aku pada diri orang lain. Gejala ini lazimnya dipandang oleh masyarakat sebagai sesuatu yang terpuji. Di dalam proses pendidikan, kecendrungan dua arah tersebut perlu dikembangkan secara berimbang. Pengembangan arah keluar merupakan pembinaan aspek sosialitas, sedangkan pengembangan arah ke dalam berarti pembinaan aspek individualitas manusia.
Yang lebih istimewa ialah bahwa manusia dikaruniai kemampuan untuk
membuat jarak (distansi) diri dengan akunya sendiri.Sungguh merupakan
suatu anugerah yang luar biasa, yang menempatkan posisi manusia sebagai
makhluk yang memiliki potensi untuk menyempurnakan diri.Aku seolah-olah
keluar dari dirinya dengan berperan sebagai subjek kemudian memandang
dirinya sebagai objek untuk melihat kelebihan-kelebihan yang dimiliki
serta kekurangan-kekurangan yang terdapat pada dirinya. Pada saat
demikian seorang aku dapat berperan ganda (sebagai subjek dan sekaligus
sebagai objek),suatu aktivitas yang tidak mudah untuk dilakukan.
Bukankah suatu ketika manusia dapat berperan sebagai polisi, hakim, atau
pendidik atas dirinya, sebagai pesakitan, terdakwa, atau si terdidik.
Lazim dikatakan bahwa peran yang paling besar ialah menghadapi musuh
yang ada dalam diri sendiri. Inilah manifestasi dari puncak
karakteristik manusia yang menjadikannya lebih unggul dari hewan.
Drijarkara menyebut kemampuan tersebut dengan istilah ” meng-Aku”, yaitu
kemampuan mengeksplorasi potensi-potensi yang ada pada aku, dan
memahami potensi-potensi tersebut sebagai kekuatan yang dapat
dikembangkan sehingga aku dapat berkembang ke arah kesempurnaan diri.
Kenyataan seperti ini mempunyai implikasi pedagogis, yaitu keharusan
pendidikan untuk menumbuh kembangkan kemampuan meng-Aku pada peserta
didik. Dengan kata lain pendidikan diri sendiri yang oleh Langeveld
disebut self forming perlu mendapat perhatian secara serius dari semua pendidik.
b. Kemampuan Bereksistensi
Dengan keluar dari dirinya, dan dengan membuat jarak antara aku
dengan dirinya sebagai objek, lalu melihat objek itu sebagai sesuatu,
berarti manusia itu dapat menembus atau menerobos dan mengatasi
batas-batas yang membelenggu dirinya.Kemampuan menerobos ini bukan saja
dalam kaitannya dengan soal ruang, melainkan juga dengan waktu. Dengan
demikian manusia tidak terbelenggu oleh tempat atau ruang ini (di sini)
dan waktu ini (sekarang), tapi dapat menembus ke “sana” dan ke “masa
depan” ataupun “masa lampau”. Kemampuan menempatkan diri dan menerobos
inilah yang disebut kemampuan bereksistensi.Justru karena
manusia memiliki kemampuan bereksistensi inilah maka pada manusia
terdapat unsur kebebasan. Dengan kata lain, adanya manusia bukan
“ber-ada” seperti hewan di dalam kandang dan tumbuh-tumbuhan di dalam
kebun, melainkan “meng-ada” di muka bumi. Jika seandainya pada diri
manusia tidak terdapat kebebasan atau kemampuan bereksistensi, maka
manusia itu tidak lebih dari hanya sekedar “esensi” belaka, artinya ada
hanya sekedar “ber-ada” dan tidak pernah “meng-ada” atau
“ber-eksistensi”. Adanya kemampuan bereksistensi inilah pula yang
membedakan manusia sebagai makhluk human dari hewan selaku makhluk infra
human, di mana hewan menjadi onderdil dari lingkungan, sedangkan
manusia menjadi manajer terhadap lingjkungannya.
Kemampuan bereksistensi perlu dibina melalui pendidikan. Peserta
didik diajar agar belajar dari pengalamannya, belajar mengantisipasi
sesuatu keadaan dan peristiwa, belajar melihat prospek masa depan dari
sesuatu, serta mengembangkan daya imajinasi kreatif sejak dari masa
kanak-kanak.
c. Kata Hati (Conscience of Man)
Kata hati atau consicience of man juga sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati, suara hati, pelita hati, dan sebagainya.Conscience
ialah “pengertian yang ikut serta” atau “ pengertian yang mmengikut
perbuatan”. Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang apa yang
akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya, bahkan mengerti juga
akibatnya (baik atau buruk) bagi manusia sebagai manusia.
Dengan sebutan “pelita hati” atau “hati nurani” menunjukkan bahwa
kata hati itu adalah kemampuan pada diri manusia yang memberi
penerangan tentang baik buruknya perbuatannya sebagai manusia.[4]
Orang yang tidak memiliki pertimbangan dan kemampuan untuk mengambil
keputusan tentang yang baik/benar dan buruk/salah ataupun kemampuan
dalam mengambil keputusan tersebut hanya dari sudut pandangan tertentu
(misalnya sudut kepentingan diri), dikatakan bahwa kata hatinya tidak
cukup tajam. Jadi, kriteria baik/benar dan buruk/salah harus dikaitkan
dengan baik/benar dan buruk/salah bagi manusia sebagai manusia.Drijakara
menyebutnya dengan baik yang integral.Sering dalam mengambil keputusan
orang mengalami kesulitan terutama jika harus mengambil keputusan antara
yang baik dengan kurang baik, atau antara yang buruk dengan yang lebih
buruk.Sulitnya, karena orang dihadapkan kepada sejumlah pilihan, untuk
dapat memilih alternatif mana yang terbaik harus berhadapan dengan
kriteria serta kemampuan analisis yang perlu didukung oleh kecerdasan
akal budi.
Orang yang memiliki kecerdasan akal budi sehingga mampu menganalisis
dan mampu membedakan yang baik/benar dengan yang buruk/salah bagi
manusia sebagai manusia disebut tajam kata hatinya.
Dapat disimpulkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan membuat
keputusan tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah bagi manusia
merupakan “petunjuk bagi moral/perbuatan”.Usaha untuk mengubah kata hati
yang tumpul menjadi kata hati yang tajam disebut pendidikan kata hati
(gewetan forming).Realisasinya dapat ditempuh dengan melatih akal
kecerdasan dan kepekaan emosi.Tujuannya agar orang memiliki keberanian
moral (berbuat) yang didasari oleh kata hati yang tajam.
d. Moral
Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang menyertai
perbuatan, maka yang dimaksud dengan moral (yang sering juga disebut
etika) adalah perbuatan itu sendiri.
Di sini tampak bahwa masih ada jarak antara kata hati dengan
moral.Artinya seseorang yang telah memiliki kata hati yang tajam belum
otomatis perbuatannya merupakan realisasi dari kata hatinya itu.Untuk
menjembatani jarak yang mengantarai keduanya masih ada aspek yang
diperlukan yaitu kemauan.Bukankah banyak orang yang memiliki
kecerdasan akal tetapi tidak cukup memiliki moral (keberanian
berbuat).Itulah sebabnya maka pendidikan moral juga sering disebut
pendidikan kemauan, yang oleh M.J. Langeveld dinamakan De opvoedeling omzichzelfs wil.Tentu saja yang dimaksud adalah kemauan yang sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa moral yang sinkron
dengan kata hati yang tajam aitu yang benar-benar baik bagi manusia
sebagai manusia merupakan moral yang baik atau moral yang tinggi
(luhur).Sebaliknya perbuatan yang tidak sinkron dengan kata hati yang
tajam ataupun merupakan realisasi dari kata hati yang tumpul disebut
moral yang buruk atau moral yang rendah (asor) atau lazim
dikatakan tidak bermoral. Seseorang dikatakan bermoral tinggi karena ia
menyatukan diri dengan nilai-nilai yang tinggi, serta segenap
perbuatannya merupakan peragaan dari nilai-nilai yang tinggi tersebut.
Etika biasanya dibedakan dari etiket.Jika moral (etika) menunjuk kepada
perbuatan yang baik/benar ataukah yang salah, yang berperikemanusiaan
atau yang jahat, maka etiket hanya berhubungan dengan soal sopan
santun.Karena moral bertalian erat dengan keputusan kata hati, yang
dalam hal ini berarti bertalian erat dengan nilai-nilai, maka
sesungguhnya moral itu adalah nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam hal itu perlu diwaspadai karena banyak orang yang etiketnya
tinggi (bersopan santun) padahal moralnya rendah, lihat penipu
ulung.Pendidikan bermaksud menumbuhkembangkan etiket (kesopansantunan)
dan etika (keberanian/kemauan bertindak) yang baik dan harus pada
peserta didik.
e. Tanggung Jawab
kesediaan untuk menanggung setiap akibat dari perbuatan yang
menuntut jawab, merupakan pertanda dari sifat orang yang
bertanggung jawab. Wujud bertanggung jawab bermacam-macam.
Ada
tanggung jawab terhadap diri sendiri, tanggung jawab kepada
masyarakat, dan tanggung jawab kepada Tuhan. Tanggung jawab kepada diri
sendiri berarti menanggung tuntutan kata hati, misalnya dalam bentuk
penyesalan yang mendalam. Bertanggung jawab kepada masyarakat berarti
menanggung tuntutan norma-norma social.Bentuk tuntutannya berupa
sanksi-sanksi social seperti cemoohan masyarakat, hukuman penjara, dan
lain-lain.Bertanggung jawab kepada Tuhan berarti menanggung tuntutan
norma-norma agama, misalnya perasaan berdosa dan terkutuk.
Di sini tampak betapa eratnya hubungan antara kata hati, moral, dan
tanggung jawab. Kata hati memberi pedoman, moral melakukan, dan
tanggung jawab merupakan kesediaan menerima konsekuensi dari perbuatan.
Eratnya hebungan antara ketiganya itu juga terlihat dalam hal bahwa
kadar kesediaan bertanggung jawab itu tinggi apabila perbuatan sinkron
dengan kata hati (yang dimaksud kata hati yang tajam). Itulah sebabnya
orang yang melakukan sesuatu karena paksaan (bertentangan dengan kata
hati) sering tidak bersedia untuk memikul tanggung jawab atas akibat
dari apa yang telah dilakukan.[5]
Dengan demikian, tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian
untuk menentukan bahwa suatu perbuatan sesuai tuntutan kodrat manusia,
dan bahwa hanya karena itu perbuatan tersebut dilakukan, sehingga sanksi
apapun yang dituntutkan (oleh kata hati, oleh masyarakat, oleh
norma-norma agama), diterima dengan penuh kesedaran dan kerelaan.Dari
uraian ini menjadi jelas betapa pentingnya pendidikan moral bagi peserta
didik, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.
f. Rasa Kebebasan
merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi
sesuai dengan tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini dada dua
hal yang kelihatannya saling bertentangan yaitu “rasa bebas” dan “sesuai
dengan tuntutan kodrat manusia” yang berarti ada ikatan.
Kemerdekaan dalam arti sebenarnya memang berlangsung dalam
keterikatan.Artinya, bebas berbuat selama tidak bertentangan dengan
tuntutan kodrat manusia.Orang hanya mungkin merasakan adanya kebebasan
batin apabila ikatan-ikatan yang ada telah menyatu dengan dirinya, dan
menjiwai segenap perbuatannya. Dengan kata lain, ikatan luar (yang
membelenggu) telah berubah menjadi ikatan dalam (yang menggerakkan).
Pernyataan tersebut telah menunjukkan bahwa merdeka tidak sama dengan
perbuatan bebas tanpa ikatan. Perbuatan bebas membabi buta tanpa
memperhatikan petunjuk kata hati, sebenarnay hanya merupakan kebebasan
semu. Sebab hanya kelihatannya bebas, tetapi sebenarnya justru tidak
bebas, karena perbuatan seperti itu akan disusul dengan
sanksi-sanksinya.
Dengan kata lain kebebasan seperti itu akan segera
diburu oleh ikatan-ikatan yang berupa sanksi-sanksi yang justru
mengundang kegelisahan. Itulah sebabnya seorang pembunuh yang habis
membunuh (perbuatan bebas tanpa ikatan) biasanya berupaya mati-matian
menyembunyikan diri (rasa tidak merdeka).Disini terlihat bahwa
kemerdekaan berkaitan erat dengan kata hati dan moral.
Seseorang
mengalami rasa merdeka apabila semua perbuatannya (moral) sesuai dengan
apa yang dikatakan kata hatinya, yaitu kata hati yang sesuai dengan
kodrat manusia; karena perbuatan seperti itu tidak sulit atau siap sedia
dipertanggung jawabkan dan tidak akan sedikit pun menimbulkan keresahan
(rasa kemerdekaan). Implikasi pedagogisnya adalah sama dengan
pendidikan moral yaitu mengusahaan agar peserta didik dibiasakan
menginternalisasikan nilai-nilai, aturan-aturan kedalam dirinya,
sehingga dirasakan didalam dirinya, sehingga dirasakan sebagai miliknya.
Dengan demikian, aturan-aturan itu tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu
yang merintangi gerak hidupnya.
g. Kewajiban dan Hak
kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai
manifestasi dari manusia sebagai makhluk social. Yang satu ada hanya
oleh karena adanya yang lain. Tak ada hak dan kewajiban. Jika seseorang
mempunyai hak untuk menuntut sesuatu maka tentu ada pihak lain yang
berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut (yang pada saat itu belum
dipenuhi). Sebaliknya kewajiban ada oleh karena ada pihaklain yang harus
dipenuhi haknya.Pada dasarnya, hak itu adalah sesuatu yang masih
kosong.Artinya meskipun hak tentang sesuatu itu ada, belum tentu
seseorang mengetahuinya.Dan meskipun sudah diketahui, belum tentu orang
mau mempergunakannya.namun terlepas dari persoalan apakah hak itu
diketahui atau tidak, digunakan atau tidak, dibalik itu tetap ada pihak
yang berkewajiban untuk bersedia memenuhinya.
Dalam realitas hidup sehari-hari, umumnya hak diasosiasikan dengan
sesuatu yang menyenangkan, sedangkan kewajiban dipandang sebagai suatu
beban. Benarkah kewajiban dipandang sebagai beban manusia?bukan beban
melainkan suatu keniscayaan (Drijarkara, 1978: 24-27). Artinya selama
seseorang menyebut dirinya manusiadan mau dipandang sebagai manusia,
maka kewajiban itu menjadi keniscayaan baginya. Sebab jika
mengelakkannya maka ia berarti mengingkarikemanusiaannya sebagai makhluk
social. Karena itu seseorang yang semakin menyatu dengan kewajiban dan
nilai maka martabat kemanusiaannya semakin tinggi dimata masyarakat.
Dengan kata lain, melaksanakan kewajiban adalah suatu keluhuran.
Alangkah luhurnya seorang guru yang melaksanakan kewajiban
sebaik-baiknya sebagai seorang guru (tanpa pamrih).Seorang prajurit yang
melaksanakan tugas sepenuhnya dimedan perang adalah suatu perbuatan
yang luhur.Adanya keluhuran dari melaksanakan kewajiban itu menjadi
lebih jelas lagi apabila dipertentangkan dengan situasi yang sebaliknya,
yaitu mengingkari janji, melalaikan tugas, mengambil hak orang lain,
dan sejenisnya.
Melaksanakan kewajiban berarti terikat kepada kkewajiban, tetapi
anehnya manusia memilihnya, mengapa?Karena melaksanakan kewajiban
berarti meluhurkan diri sebagai manusia.Atau merasa baru manusia bila
menaati kewajiban.Dengan demikian baru merasa lega, bebas atau merdeka.
Dilihat dari segi ini, wajib bukanlah ikatan, melainkan suatu keniscayaan. Karena wajib adalah suatu keniscayaan, maka terhadap apa yang diwajibkan manusia menjadi tidak merdeka. Mau atau tidak, manusia harus menerimanya. Tetapi terhadap keniscayaan ittu sendiri manusia bias taat dan bias saja melanggar. Ia merdeka untuk memilihnya dengan konsekuensi jika taat akan meningkat martabatnya sebagai manusia, dan jika melanggar akan merosot martabatnya.
Sudah barang tentu realisasi hak dan kewajiban dalam prakteknya
bersifat relative, sesuai dengan situasi dan kondisi.Sebab tak ada
kewajiban untuk melaksanakan hal yang mustahil (yang berada di luar
sikon dan kemampuan).Kita tahu bagaimana realisasi hak asasi manusia
atas pendidikan dan wajib belajar di Negara-negara yang sedang
berkembang pada umumnya.Jadi, meskipun setiap warga mempunyai hak untuk
menikmati pendidikan, tetapi jika fasilitas pendidikan yang tersedia
belum memadai maka orang harus menerima keadaan realisasinya sesuai
dengan sikon.Hak yang secara asasi dimiliki oleh setiap insane serta
sesuai dengan tuntutan kodrat manusia disebut hak asasi manusia.
Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban kewajiban berhubungan erat
dengan keadilan.Dalam hubungan ini mungkin dapat dikatakan bahwa
keadilan terwujud bila hak sejalan dengan kewajiban.
Karena pemenuhan
hak dan pelaksanaan kewajiban dibatasi oleh situasi dan kondisi, yang
berarti tidak seluruh hak dapat terpenuhi dan tidak semua kewajiban
dapat sepenuhnya dilakukan, maka hak asasi manusia harus diartikan
sebagai cita-cita, aspirasi atau harapan yang berfungsi untuk memberi
arah pada segenap usaha menciptakan keadilan.
Kemampuan menghayati kewajiban sebagai keniscayaan tidaklah lahir
dengan sendirinya, tetapi bertumbuh melalui suatu proses. Usaha
menumbuhkembangkan rasa wajib sehingga dihayati sebagai suatu
keniscayaan dapat ditempuh melalui pendidikan disiplin.
Jika ada orang tua yang beranggapan bahwa pendidikan disiplin dan
tanggung jawab belum sepantasnya diberikan kepada anak-anak sejak masih
balita adalah keliru. Benih-benih kedisiplinan dan rasa tanggung jawab
seharusnya sudah mulai ditumbuhkembangkan sejak dini, bahkan saat anak
masih berada di keranjang ayunan, melalui pelatihan kebiasaan (habit
forming) khususnya mengenai hal-hal yang nantinya bersifat rutin dan
dibutuhkan dalam kehidupan. Disiplin diri menuurut Selo Soemardjan
(wawancara TVRI, Desember 1990) meliputi empat aspek, yaitu:
- Disiplin rasional, yang jika terjadi pelanggaran menimbulkan rasa bersalah.
- Disiplin sosial, jika dilanggar menimbulkan rasa malu.
- Disiplin afektif, jika dilanggar menimbulkan rasa gelisah.
- Disiplin agama, jika dilanggar menimbulkan rasa berdosa.
Keempat macam disiplin tersebut perlu ditanamkan pada peserta didik dengan disiplin agama sebagai titik tumpu.
h. Kemampuan Menghayati Kebahagiaan
Kebahagiaan adalah suatu istilah yang lahirdari kehidupan
manusia.Penghayatan hidup yang disebut “kebahagiaan” ini meskipun tidak
mudah untuk dijabarkan tetapi tidak sulit untuk dirasakan.Dapat diduga,
bahwa hampir setiap orang mengalami rasa bahagia.Untuk menjabarkan arti
istilah kebahagiaan sehingga cukup jelas dipahami serta memuaskan semua
pihak sesungguhnya tidak mudah. Ambillah misal tentang sebutan: senang,
gembira, bahagia, dan sejumlah istilah lain yang mirip dengan itu.
Sebagian orang mungkin menganggap bahwa seseorang yang sedang mengalami
rasa senang atau gembiraitulah sedang mengalami kebahagiaan.
Sebagian lagi menganggap bahwa rasa senang hanya merupakan aspek dari
kebahagiaan, sebab kebahagiaan sifatnya lebih permanen dari pada
perasaan senang yang sifatnya lebih temporer. Dengan kata lain,
kebahagiaan lebih merupakan integrasi atau rentetan dari sejumlah
kesenangan.
Malah mungkin ada yang lebih jauh lagi berpendapat bahwa
kebahagiaan tidak cukup digambarkan hanya sebagai himpunan dari
pengalaman-pengalaman yang menyenangkan saja, tetapi lebih dari itu,
yaitu merupakan integrasi dari segenap kesenangan, kegembiraan,
kepuasan, dan sejenisnya dengan pengalaman-pengalaman pahit dan
penderitaan. Proses integrasi dan kesemuanya itu (yang menyenangkan
maupun yang pahit) menghasilkan penghayatan hidup yang disebut
“bahagia”.
Peliknya persoalan mungkin juga disebabkan oleh karna kebahagiaan itu
lebih dapat dirasakan dari pada dipikirkan.Pada saat orang-orang
menghayati kebahagiaan, aspek rasa lebih berperan dari pada aspek
nalar.Oleh karna itu dikatkan bahwa kebahagiaan itu sifatnya irasional.
Padahal kebahagiaan yang tampaknya didominasi oleh perasaan itu ternyata
tidak demikian, karena aspek-aspek kepribadiannya yang lain seperti
akal pikiran juga ikut berperan.
Bukankah seseorang hanya mungkin menghayati kebahagiaan jika ia
mengerti tentang sesuatu yang menjadi objek rasa bahagia itu? Juga orang
yang sedang terganggu pikiran atau tidak beres kesadarannya tidak akan
sanggup menghayati kebahagiaan. Disini jelas bahwa penghayatan terhadap
kebahagiaan juga didukung oleh aspek nalar disamping aspek rasa.
Kepelikan lain lagi yang mungkin timbul ialah apabila kebahagiaan itu dipandang sebagai suatu kondisi atau keadaan (yaitu kondisi emosi yang positif) disamping suatu proses.
Dimuka telah dijelaskan bahwa kebahagiaan itu merupakan suatu integrasi
pengalaman-pengalaman yang menyenangkan dengan yang pahit antara
perasaan dan penalaran. Sekarang pengertian integrasi mencakup perpaduan
proses dan hasilnya, sehingga persoalan menjadi lebih pelik lagi.
Rangkaian kejadian yang didalamnya tercermin kebahagiaan, misalnya
seseorang yang telah lulus dan mendapat gelar sarjana dengan predikay
kelulusan yang baik, karena mencapai IPK: 3,8 (kebahagiaan). Setelah itu
dengan masa menunggu sekitar setahun (penderitaan) dapat diterima pada
sebuah perusahaan kimia, dengan gaji yang sangat menggembirakan
(kebahagiaan). Setelah dua tahun dinas ia mendapat kecelakaan
(penderitaan), karena mukanya terkena uap kimia yang menjadikan mukanya
rusak dan kedua matanya buta (adzab).
Sebuah kesimpulan yang dapat ditarik dari apa yang telah dipaparkan
tentang kebahagiaan ialah bahwa kebahagiaan ialah bahwa kebahagiaan itu
rupanya tidak terletak pada keadaannya sendiri pada faktual (lulus
sebagai sarjana, mendapat pekerjaan dan seterusnya) ataupun pada
rangkaian prosesnya, maupun pada perasaan yang diakibatkannya tetapi
terletak pada kesanggupan menghayati semuanya itu dengan
keheningan jiwa, dan mendudukkan hal-hal tersebut didalam rangkaian atau
ikatan tiga hal yaitu: usaha, norma-norma, dan taqdir.
Yang dimaksud dengan usaha adalah perjuangan yang terus-menerus untuk
mengatasi masalah hidup.Hidup dengan menghadapi masalah itulah realitas
hidup.Karena itu masalah hidup harus dihadapi.Masalah hidup adalah
sesuatu yang realistis, objektif, bukan suatu yang dibuat-buat.orang
mengalami kebahagiaan bila bersedia menyerah pada
objektivitas(drijarkara). Kebahagiaan juga sesuatu yang realistis bukan
dibuat-buat.orang yang menderita tidak dapat mengatakan pada yang lain
bahwa ia bahagia, atau menunjukkan sikap atau lagak seolah-olah bahagia.
Selanjutnya usaha tersebut harus tertumpu pada norma-norma/
kaidah-kaidah.Kebahagiaan adalah hidup yang tenteram.Hidup tenteram
terlaksana dalam hidup tanpa tekanan.Itulah hidup merdeka.Dimuka sudah
dijelaskan bahwa merdeka dalam arti yang sebenarnya, bukan merdeka dalam
arti bebas liar tanpa mendali yang justru mengundang keonaran dan
akhirnya tekanan-tekanan. Seseorang hanya akan merasa merdeka dalam arti
sebenarnya bila tidak merasakan adanya belenggu ikatan-ikatan,
paksaan-paksaan dari aturan-aturan (norma-norma). Yakni apabila ia telah
menyatukan diri dengan norma-norma kehidupansehingga kehidupannya dan
segenap sepak terjangnya merupakan pancaran (personifikasi) dari
norma-norma. Jadi kebahagiaan dicapai dengan penyatuan diri dengan
norma-norma (kaidah-kaidah hidup).Dilihat dari segi ini tampak pula
bahwa kebahagiaan bersifat individual karena derajat kebahagiaan sangat
tergantung kepada orang-seorang.Kebahagiaan juga mengandung sisi sosial,
karna norma-norma/ kaidah hidup selalu bersifat sosial.
Kemudian takdir, takdir merupakan rangkaian yang tak terpisahkan
dalam proses terjadinya kebahagiaan, komponen takdir ini erat bertalian
dengan komponen usaha. Pepatah yang menyatakan “manusia berusaha, tuhan
menyudahi”, harus diartikan bahwa istilah takdir baru boleh disebut
sesudah orang melaksanakan usaha sampai batas kemampuan, kemudian
hasilnya –sepadan atau tidak dengan yang diinginkan- diterima dengan
pasrah dan kesyukuran.Kebahagiaan hanya dapat diraih oleh mereka yang
mampu bersyukur.Untuk itu kemampuan menghayati sangat diperlukan.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan itu dapat diusahakan peningkatannya. Ada dua hal yang dapat dikembangkan, yaitu: kemampuan menghayati hasil usaha dalam kaitannya dengan taqdir. Dengan demikian pendidikan mempunyai peranan yang penting sebagai wahana untuk menggapai kebahagiaan, utamanya pendidikan keagamaan.
Manusia adalah makhluk yang serba terhubung, dengan masyarakat
lingkungannya, dirinya sendiri, dan tuhan. Beerling mengemukakan
sinyalemen hainemann bahwa pada abad ke- 20 manusia mengalami krisis
total. Disebut demikian karna yang dilanda bukan hanya segi-segitertentu
dari kehidupan seperti krisis ekonomi, energi, dan sebagainya,
melainkan yang krisis adalah manusianya (beerling,1951:43)
Dalam krisis total manusia manusia mengalami krisis hubungan dengan
masyarakat, dengan lingkungannya, dirinya sendiri, dan dengan tuhannya.
Tidak ada pengenalan dan pemahaman yang seksama terhadap dengan apa dan
siapa ia berhubungan. Tidak ada kesraan hubungan dengan apa atau siapa
ia berhubungan. Inilah bencana yang melanda manusia, sehingga manusia
makin jauh dari kebahagiaan.Kebahagiaan hanya dapat dicapai apabila
manusia meningkatkan kualitas hubunganya sebagai makhluk yang memiliki
kondisi serba terhubung dan dengan memahami kelebihan dan
kekurangan-kekurangan diri sendiri.Kelebihannya ditingkatkan dan
kekurangannya diperbaiki.Sedangkan dengan lingkungan alam manusia dapat
memanfaatkannya (mengeksploitasi) sembari peduli terhadap pelestarian
dan pengembangannya.Terhadap tuhan, manusia harus memahami ajaran-Nya
serta mengamalkannya.
2.2 Dimensi-Dimensi Hakikat Manusia Serta Potensi, Keunikan Dan Dinamikanya
Pada hakikatnya, manusia ialah makhluk yang memiliki keunikan
tersendiri, yakni memiliki dimensi-dimensi yang tercakup pada diri
manusia itu sendiri dan dimensi-dimensi tersebut adalah[6] :
- Dimensi keindividualan
- Dimensi kesosialan
- Dimensi kesusiaan
- Dimensi keberagaman
1. Dimensi keindividualan
Lysen menganrtikan individu sebagai “orang-seorang” sesuatu yang
merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in
device).Kemudian individu juga diartikan pribadi. Setiap anak manusia
yang dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dengan
yang lain, atau menjadi dirinya sendiri. Setiap orang memiliki sifat
keindividualannya masing-masi ng. Bahkan, bahkan dua anak kembar yang
berasal dari satu telurpun, yang biasa dikatakan dengan pinang dibelah
dua, serupa dan sulit dibedakan satu sama lain, akan tetapi hanya serupa
dari sisi yang atunya saja dan berbeda dari sisi yang lainnya, Apalagi
identik. Hal yang berbeda ini berlaku pada sifat-sifat fisiknya ataupun
kejiwaannya. Dikatakan bahwa individu itu berbeda-beda atu bisa
dibilang sangatlah unik . secara fisik memanglah bisa dikatakan tidak
ada bedanya tetapi terdapat perbedaan dimatanya. Secara rohani mungkin
kapasitas intelegansi nya sama, tetapi kecenderungan dan perhatian
terhadap sesuatunya berbeda, karena adanya individualitas itu setiap
manusi memiliki kehendak, persaan, cita-cta , kecenderungan ,semangat,
dan daya tahan yang berbeda. Dalam hidup sehari-hari misalanya dua
orang yang memiliki nama yang sama, ahmad misalnya tetapi sesama ahmad
mereke berdua tidak mau disamakan, bisa jadi mereka marah akan hal
tersebut, ada juga yang memiliki di sekolah atau di lingkungan
masyarakay terdapat anak yang bebeda keluarga, tetapi secara fisik
mereka terlihat seperti memiliki kemiripan antara satu sama lain, akan
tetapi sangatlah jelas mereka berdua menolak akan kesamaan mereka satu
sama lain, pendek kata mereka mempertahkan kekhasannya masing-masing.
Gambaran tersebut telah dikemukaan oleh Francis galton seorang ahli
biologi dan matematika inggris, dari hasil penelitiannya terhadap banyak
pasangan kembr satu ibu. Ternyata tidak ada pasanganpun yang identik.
Keindentikan akan perbedaan ini sudah mulai bertumbuh sejak seorang anak
yang menolak ajakan ibunya pada masa kanak-kanak. Perkembangan lebih
lanjut menujukan bahwa setiap orang memiliki sikap dan pilihan sendiri
yang dipertanggung jawabkan sendiri tanpa mengharapkan bantuan orang
lain.
2. Dimensi Kesosialan
Setap bayi yang lahir dikarunia potensi sosialitas.Demikian kata M.J
Lavebgled. Pernyataan tersebut diartikan bahwa setap anak dikaruniai
benih kemungkinan untuk bergaul. Arinya, setiap anak dapat saling
berkomunikasi yang pada hakikatnya didalamnya terkandung unsur saling
memberi dan menerima.Bahkan menerut lavengeld, adanya kesediaan untuk
saling memberi dan menerima itu dipandang sebagai kunci sukses
pergaulan. Adanya dorongan untuk menerima dan memberi itu sudah
menggejala mulai pada bayi. Seorang bayi sudah dapat menyambut atau
menerima belaian ibunya dengan rasa senang.kemudian sebagai balasan ia
dapat memberikan senyuman kepada lingkungannya, khususnya pada ibunya
sendiri. Kelak jika sudah dewasa dan menduduki status atau pekerjaan
tertentu, dorongan menerima dan memberi itu berubah menjadi kesadaran
akan hak yang harus diterima dan kewajiban yang harus dilaksankan untuk
kepentingan pihak lain sebagai realisasi dari memberi.
3. Dimensi kesusilaan
Susila berasal dari kata su dn sila yang artinya kepantasan yang
lebih tinggi. Akan tetapi, di dalam kehidupan bermasyarakat orang tidak
cukup hanya berbuat yang pantas jika didalam pantas atau sopan itu
misalnya terkandung kejahatan terselubung, karena itu maka pengertian
susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan yang
lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua macam istilah yang
mempunyai konotasi berbeda yaitu etiket (persoalan kepantasan dan
kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan).
Orang yang jahat berarti melanggar hak orang lain dan dikatakan tidak
ber etika atau tidak bermoral. Sedang tidak sopan diartikan sebagai
tidak beretiket .jika etika dilanggar ada orang lain yang dirugan,
sedang kan pelanggaran etiket hanya mengakibatkan ketidak senangan orang
lain.
Sehubungan denag dengan hal tersebut ada dua pendapat, yaitu:
- Golongan yang menganggap bahwa kesusilaan mencakup kedua-duanya . etiket tidak usah dibedakan dari etika karena sama-sama dibutuhkan dalam kehidupan. Kedua-duanya bertalian erat.
- Golongan yang memandang bahwa etiket perlu dibedakan dari etika, karena masing-masing mengandung kondisi yang tidak selamanya selalu sejalan. Orang yang sopan belum tentu baik, dalam arti tidak merugikan orang lain, sebaliknya orang yang baik belum tentu halus dalam hal kesopanan. Kesopanan sebagai kendaraan dalam sebuah pergaulan hidup, sedangkan etika merupakan tehnologinya. Kesopanan dan kebaikan masing-masing diperlukan demi keberhasilan hidup dalam bermasyarakat.
Didalam urusan ini kesusilaan diartikan mencakup etika dan
etiket.Persoalan kesusilaan selalu berhubungan erat dengan
nilai-nilai.Pada hakikatnya manusia memiliki kemampuan utuk mengambil
keputusan susila, serta melaksanakannya sehingga dikatakan manusia itu
adalah makhluk susia.
Jangankan antara memahami dan melaksanakan yang rentangannya begitu
jauh, antara niat (kesediaan untuk melaksanakan) dengan perbuatan
(melaksanakan) yang rentangannya begitu dekat saja masih sering terjadi
kesenjangan. Sering niat baik yang sudah menggebu-gebu tetapi tidak
ssampai berkelanjutan pada perbuatan.
Berdasarkan uraian tersebut maka pendidikan kesusilaan meliputi
rentangan yg luas penggarapanya.Mulai dari ranah kognitif yaitu dari
mengetahui sampai kepada menginternalisasi nilai sampai ranah afektif
dari menyakini, meniati sampai keapada siap sedia untuk melakukan.Meskipun demikian tekananya seharusnya diletakan pada ranah
afektif.Konsekuensinya adalah sering memakan waktu panjang dalam
pemerosesanya, berkesinambungan, dan memerlukan kesabaran serta
ketekunan dari pihak pendidik. Adanya penyeimbang yang selaras antara
melaksanakan kewajiban dengan terhadap hak (to give and to take)didalam
kehidupan menggambarkan kesusilaan yang sehat. Didalam dunia pendidikan
intinya adalah pelayana, berlaku hukum”saya akan memberikan lebih dari
pada yang saya terima”.
Implikasi pedagogisnya adalah bahwa pendidikan kesusilaan berarti
menanamkan kesadaran dan kesediaan melakukan kewajiban di samping
menerima hak pada peserta didik. Pada masyarakat kita, pemahaman
terhadap hak (secara objektif rasional) masih perlu ditanamkan tanpa
mengabaikan kesadaran dan keesediaan melaksanakan kewajiban. Hal ini
penting, seba kepincangan antara keduanya bagaimana pun juga akan
menggangu suasana hidup yang sehat.
4. Dimensi Keberagaman
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religious. Sejak dahulu kala,
sebelum manusia mengenal agam mereka telah percaya bahwa diluar alam
yang dapat dijangkau dengan perantaraan alat indranya, diyakini akan
adanya kekuatan supranatural yang menguasai hidup alam semesta ini.
Untuk dapat mendekatkan diri kepada kekuatan tersebut diciptakanlah
mitos-mitos.Misalnya untuk meminta sesuatu dari kekuatan-kekuatan
tersebut dilakukan bermacam-macam upacara, menyediakan sesajen-sesajen
dan memberikan korban-korban. Sikap dan kebiasaan yang membudaya pada
nenek moyang kita seperti tiu dipandang sebagai embrio dari kehidupan
manusia dalam beragama.
Kemudian setelah ada agama manusia mulai menganutnya.Beragama adalah
kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga
memerlukan tempat bertopang.Ph. Kohnstamm bahwa pendidikan agama
seyogianya menjadi tugas orang tua dalam lingkungan keluarga, kata
pendidikan agama adalah persoalan afektif dan kata hati.Pesan-pesan agam
harus tersalur dari hati ke hati.Terpancar dari ketulusan serta
kesungguhan hati orangtua dan menembus ke anak.Pendapat kohnstamm ini
mengandung kebenaran dilihat dari segi kualitas hubungan antara pendidik
dengan peserta didik.Disamping itu juga penanaman sikap dan kebiasaan
dalan beragama dimulai dari sedini mungkinm meskipun masih terbatas pada
latihan kebiasaan (habit formation).Tetapi untuk pengembangan
pengkajian lebih lanjut tentunya tidak dapat diserahkan hanya kepada
orangtua.Untuk itu pengkajian agama secara masal dapat di mamfaatkan
misalnya pedidikan agama di sekolah.
Pemerintahan dengan GBHN memasukan pendidikan agama kedalam kedalam
kurikulum disekolah baik SD sampai dengan perguruan tinggi.Namun tetap
harus disadari bahwa pendidikan agama bukan semata-mata pelajaran agama
ayang hanya memberikan pengetahuan tentang agama.Jadi segi-segi afektif
harus diutamakan.
Disamping itu mengembangkan kerukunan hidup diantara sesama umat
beragama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa perlu
mendapat perhatian (GBHN, hal.134 butir a.1).kiranya tidak cukup jika
pendidikan agama hanya ditempuh melalui pendidikan formal. Kegiatan
didalam pendidikan non-formal dan informal dapat dimanfaatkan untuk
keperluan tersebut.[7]
2.3 Pengembangan Dimensi Hakikat Manusia
Seperti telah berulangkali dikatakan, sasaran pendidikan adalah
manusia sehingga dengan sendirinya pengembangan dimensi hakikat manusia
menjadi tugas pendidikan.
Manusia lahir telah dikarunia dimensi hakikat manusia tetapi masih
dalam wujud potensi, belum teratualisasi dalam wujud kenyataan atau
“aktualisai”. Dari kondisi “potensi” menjadi wujud aktualisasi terddapat
rentangan proses yang mengandung pendidikan untuk berperan dalam
memberikan jasanya. Setiap manusia lahir dikaruniai “naluri” yaitu
dorongan-dorongan yang alami (dorongan makan, seks, mempertahankan diri,
dan lain-lain).Jika manusia hanya hidup dengan naluri maka tidak ada
bedanya dengan hewan.Hanya melalui pendidikan status hewani itu dapat
diubah kearah status manusiawi. Meskipun pendidikan itu pada dasarnya
baik tetapi dalam pelaksanaannya mungkin saja bias terjadi
kesalahan-kesalahan yang lazim yang disebut salah didik. Hal demikian
bias terjadi karena pendidik itu manusia biasa, yang tidak luput dari
kelemahan-kelemahan. Sehubungan dengan itu ada dua kemungkinan yang bisa
terjadi, yaitu:
- Pengembangan yang utuh dan
- Pengembangan yang tidak utuh.
1.Pengembangan Yang Utuh
Tingkat keutuhan perkembangan dimensi hakikat manusia ditentukan oleh
dua factor, yaitu: kualitas dimensi hakikat manusia itu sendiri secara
potensial dan kualitas pendidik yang disediakan untuk memberikan
pelayanannya. Meskipun ada tendensi pandangan modern yang lebih
cenderung memberikan tekanan lebih pada pengaruh factor lingkungan.
Namun demikian kualitas dari hasil akhir pendidikan sebenarnya harus
dipulangkan kembali kembali kepada peserta didik itu sendiri sebagai
subjek sasaran pendidikan.Pendidikan yang berhasil adalah pendidikan
yang sanggup menghantar subjek didik menjadi seperti dirinya sendiri
selaku anggota masyarakat.
Selanjutnya pengembangan yang utuh dapat dilihat dari berbagai segi yaitu : wujud dimensi dan arahnya.
- a. Dari Wujud Dimensinya
Keutuhan terjadi antara aspek jasmani dan rohani, antara dimensi
keindividualan,kesosialan, kesusilaan, dan keberagaman antara aspek
kognitif, afektif, dan psikomotor.
Pengembangan dimensi keindividualan,kesosialan, kesusilaan, dan
keberagamaan dikatakan utuh jika semua dimensi tersebut mendapat layanan
dengan baik, tidak terjadi pengabaian terhadap salah satunya.
Pengembangan domain kognitif, afektif, dan psikomotorik dikatakan
utuh jika ketiga-tiganya mendapat pelayanan yang berimbang. Pengutamaan
domain kognitif dengan mengabaikan pengembangan domain afektif, misalnya
seperti yang terjadi pada kebanyakan system persekolahan dewasa ini
hanya akan menciptakan orang-orang pintar yang tidak berwatak.
- b. Dari Arah Pengembangan
Keutuhan pengembangan dimensi hakikat manusia dapat diarahkan kepada
pengembangan dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan, dan
keberagamaan secara terpadu. Keempat tersebut tidak dapat dipisahkan
satu sama lain. Jika dianalisis satu persatu gambaranya sebagai berikut:
Pengembangan yang sehat terhadap dimensi keindividualan member peluang
pada seseorang untuk mengadakan eksplorasi terhadap potensi-potensi yang
ada terhadap dirinya.
Pengembangan yang sehat terhadap dimensi kesosialan yang lazim
disebut pengembangan horizontal membuka peluangterhadap ditingkatkanya
hubungan social diantara sesama manusia dan manusia dengan lingkungan
fisik yang berarti memelihara kelestarian lingkungan disamping
mengeksploitasinya.
Pengembangan yang sehat dari dimensi kesusilaan akan menopang pengembangan dan pertemuan dimensi keindividualan dan kesosialan.
Dapat disimpulkan bahwa pengembangan dimensi hakikat manusia yang
utuh diartikan sebagai pembinaan terpadu terhadap dimensi hakikat
manusia sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara selaras.Perkembangan
dimaksud mencakup yang bersifat horizontal (yang menciptakan
keseimbangan) dan yang bersifat vertical (yang menciptakan tinggi
derajat manusia).Dengan demikian secara totalitas membentuk manusia yang
utuh.
2. Pengembangan Yang Tidak Utuh
Pengembangan yang tidak utuh pada dimensi hakikat manusia akan
terjadi didalam proses pengembangan jika ada unsur dimensi hakikat
manusia yang terabaikan untuk ditangani, misalnya : dimensi kesosialan
didominasi oleh pengembangan dimensi keindividualan ataupun domain
afektif didominasi oleh pengembangan domain kognitif. Demikian pula
secara vertical ada domain tingkah laku yang terabaikan penanganannya.
Pengembangan yang tidak utuh berakibat terbentuknya kepribadian yang
pincang dan tidak mantap.Pengembangan semacam ini merupakan pengembangan
yang patologis.
2.4 Sosok Manusia Indonesia Seutuhnya
Pengertian manusia utuh sudah digambarkan pada butir C.1.hlm.24.
Sosok manusia Indonesia seutuhnya telah dirumuskan GBHN mengenai arah
pembangunan jangka panjang.
Dinyatakan bahwa pembangunan nasional dilaksanakan didalan rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya
dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini berarti
pembangunan tidak hanya mengejar kemajuan lahiriyah, seperti : pangan,
sandang, perumahan, kesehatan, ataupun kepuasan batiniah seperti
pendidikan, rasa aman, bebas mengeluarkan pendapat yang bertanggung
jawab atau rasa keadilan, melainkan keselarasan, keserasian, dan
keseimbangan antara keduanya sekaligus batiniah.[8]
2.5Tanggung Jawab Pendidikan Terhadap Pengembangan Manusia
Pendidikan identik dengan pembelajaran, pembelajaran mengandung dua
segi kegiatan, yaitu kegiatan guru melakukan suatu proses atau
menjadikan orang lain (siswa) belajar dan kegiatan siswa melakukan
kegiatan belajar. Dengan kata lain pendidikan adalah suatu proses untuk
memperoleh pengetahuan, sedangkan pengetahuan adalah salah satu cara
untuk memperoleh kebenaran.[9]
Dikatakan, bahwa masalah pendidikan merupakan masalah kehidupan
manusia. Pendidikan sebagai sebuah proses berada dan berkembang bersama
dengan proses perkembangan yang berlangsung dalam kehidupan manusia.
Bahkan pada hakikatnya kedua proses itu adalah satu. Pendidikan identik
dengan perkembangan manusia itu sendiri.[10]
Sasaran pendidikan adalah manusia.Pendidikan bermaksud membantu
peserta didik untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiannya.
Pendidikan, seperti sifat sasarannya yaitu manusia, mengandung banyak
aspek dan sifatnya sangat kompleks.Karena sifatnya yang kompleks itu,
maka tidak sebuah batasan pun yang cukup memadai untuk menjelaskan arti
pendidikan secara lengkap.[11]
Salah satu kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia adalah
pendidikan di samping kebutuhan akan pangan ,sandang dan tempat tinggal.
Manusia sebagai mahluk yang di anugerahkan akal oleh sang Khalik, yang
membedakan antara manusia dengan hewan bahwa manusia adalah mahluk
pintar, dari mulai lahir manusia perlu belajar dan itulah bedanya antara
manusia dengan mahluk lainnya termasuk malaikat.[12]
Seperti yang telah kita ketahui bersama, Tujuan pendidikan adalah
mendidik manusia, agar menjadi lebih baik, meliputi ilmu pengetahuan,
sikap, dan tentunya akhlak.Pendidikan adalah sesuatu yang di perlukan
oleh manusia, sehingga secara tidak langsung Pendidikan mempunyai
tanggung jawab terhadap pengembangan manusia.
Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik,
luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan.Karena itu tujuan
pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap
kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh
segenap kegiatan pendidikan.[13]
Pembelajaran moral dan etika bukan sekedar dengan membaca aturan
hukum tertulis namun perlu juga menangkap suasana batin kebutuhan
masyarakat untuk merasa bangga sebagai warga negara dan bangsa
Indonesia.Sementara aturan hukum tertulis banyak dibaca dalam kesempatan
pendidikan formal di sekolah, maka menangkap suasana batin dilakukan
sepanjang hayat melalui pendidikan di luar sekolah baik nonformal dan
informal.
Pendidikan merupakan wahana penting untuk membangun membangun
manusia.Pada akhirnya manusia hasil pendidikan itu menjadi sumber daya
pembangunan.Dan pendidikan mempunyai andil serta tanggung jawab yang
besar terhadap pengembangan manusia.
Pendidikan berkewajiban mempersiapkan generasi baru yang sanggup
menghadapi tantangan zaman baru yang akan datang. Pembangunan manusia
masa depan seutuhnya mempersyaratkan upaya pembaruan pendidikan.
Tanggung jawab pendidikan bukan hanya milik pemerintah, namun secara
luas tanggung jawab pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, baik
keluarga dan masyarakat. Karena Pendidikan akanmenjadi investasi bagi
negara.
Dalam UU dijelaskan bahwa pemerintah bertanggung jawab sebagai
penyelengara pendidikan.Sebagaimana diamanatkan oleh UU sisdiknas 2003,
pemerintah dan pemerintah daerah memiliki wewenang untuk mengarahkan,
membantu, dan membimbing serta memberikan pelayanan dan kemudahan atas
terselenggara pendidikan yang bermutu.
Namun tidak sampai disini, tanggung jawab pendidikan juga menjadi
milik keluarga dan masyarakat, karena dua aspek tersebut sangat membantu
terhadap pengembangan manusia.Jadi secara umum tanggung jawab
pendidikan atas pengembangan manusia menjadi milik keluarga, masyarakat,
dan juga pemerintah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
- Sifat hakikat manusia dan segenap dimensinya hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan. Ciri-ciri yang khas tersebut membedakan secara prinsipiil dunia hewan dari dunia manusia.
- Adanya sifat hakikat tersebut memberikan tempat kedudukan pada manusia sedemikian rupa sehingga derajatnya lebih tinggi daripada hewan dan sekaligus menguasai hewan.
- Salah satu sifat hakikat yang istimewa adalah adanya kemampuan menghayati kebahagiaan pada manusia.
- Semua hakikat manusia dapat dan harus ditumbuhkembangkan melalui pendidikan. Berkat pendidikan maka sifat hakikat manusia dapat ditumbuhkembangkan secara selaras dan berimbang sehingga menjadi manusia yang utuh.
[1]Ahmad Khalil, Merengkuh bahagia Dialog Al-Qur’an,Tasawuf,dan Psikolog (Malang : UIN Press 2010) hlm.23
[2]Prof. Dr. H. Jalaluddin Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Kalam Mulia 2011) hlm.46
[3]Prof. Dr. Umar Tirtarahardja, Pengantar Pendidikaan (Jakarta : Asdi Mahasatya,2005) hlm.2
[4]Prof. Dr. Umar Tirtarahardja, Pengantar Pendidikaan (Jakarta : Asdi Mahasatya,2005) hlm.6
[5]Drs.S.L. La Sulo Pengantar Pendidikan…hlm.8
[6]Drs.S.L. La Sulo Pengantar Pendidikan…hlm.17
[7]Drs.S.L. La Sulo Pengantar Pendidikan…hlm.24
[8]Drs.S.L. La Sulo Pengantar Pendidikan…hlm.27
[9]Triyo Supriyanto, M.Ag, Epistimologi Pendidikan Ibn Qayyim al-Jawziyyah (Malang:UIN-Maliki Press,2011) hlm. 77
[10]Prof. Dr. H. Jalaluddin Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Kalam Mulia 2011) hlm.46
[11] Prof. Dr. Umar Tirtarahardja, Pengantar Pendidikaan (Jakarta : Asdi Mahasatya,2005) hlm.33
[12]Ibid..hlm 110
[13]Prof. Dr. Umar Tirtarahardja, Pengantar Pendidikaan (Jakarta : Asdi Mahasatya,2005) hlm.37
Post a Comment